KEMBALI
Gedung-gedung masih pulas dan basah sehabis hujan semalam. Halte-halte busway benderang oleh lampu-lampu terang tapi kosong. Jalan-jalan sedikit tergenang menyediakan cermin untuk langit memantas diri menyambut pagi. Hari mulai menggeliat katika aku harus tinggalkan kota.
Stasiun Gambir, tempat aku akan dilesatkan untuk kembali ke alam nyataku. Alam di mana aku harus kembali kepada rutinitas; bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, bekerja, pulang, istirahat dan tidur. Rutinitas sebagai budak kebutuhan, budak dunia yang lapar.
Stasiun Gambir, hidup dua puluh empat jam sehari, tidak pernah sepi. Tempat di mana orang-orang dikumpulkan dalam kotak-kotak tujuan dan dipindahkan ke mimpi mereka masing-masing. Dini hari mereka terlihat bergerak seperti robot-robot karena masih enggan untuk berbicara. Mencari tiket, menaiki anak tangga, masuk ke gerbong, duduk dan terlelap.
Peluit melengking memberi tanda untuk kereta agar segera berangkat. Peluit yang sama menamparku memberi tahu bahwa cutiku telah berakhir dan itu berarti aku harus kembali ke kubanganku lagi.
Gambir, 14 Nopember 2015
tino