MAESAROH
Akhirnya Bewok memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Pekerjaan yang sudah belasan tahun dia geluti, sebagai karyawan di sebuah pabrik tekstil yang cukup besar. Besok dia akan ajukan surat pengunduran dirinya ke bagian personalia. Dia memutuskan untuk memulai usahanya sendiri bulan depan.
Kalau selama ini dia bertahan di tempatnya bekerja, belasan tahun, bukan karena kenyamanan bekerja. Bukan juga karena romatisme buluk bernama loyalitas. Dia bertahan karena ketidakberaniannya memulai usaha sendiri. Dia selalu dibayangi rasa takut kalau-kalau usahanya gagal. Dia pangecut tulen. Seorang pengecut yang matanya selalu tersumpal gombal kotor kebangrutan. Seorang pengecut yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memutuskan keluar dari pekerjaannya dan memulai usahanya sendiri. Tentu saja dia tidak mengakui semua itu secara terang-terangan.
Sudah sangat lama dia ingin punya usaha sendiri karena dia tidak ingin mengendap dan mengerak menjadi karyawan, menjadi pesuruh. Dia tidak ingin terlalu lama dibungkus peraturan-peraturan perusahaan. Dia tidak ingin terlalu lama diteror pedang-pedang sanksi perusahaan yang mengancam. Dia tidak ingin menjadi orang yang selalu mencari-cari tanggal merah pada kalender untuk mendapatkan libur. Dia ingin merdeka. Dia ingin menjadi orang yang memegang kendali. Dia ingin menjadi boss.
Walau sudah terlanjur lama menjadi karyawan dan hampir berkarat, menurutnya, seperti kata para motivator, tidak pernah ada kata terlambat. Bewok berpikir bahwa usahanya harus segera dimulai, walau hanya berupa usaha kecil-kecilan. Dia ingat selogan dari seorang pebisnis sukses yang mengatakan, "lebih baik kecil tapi jadi boss dari pada besar tapi jadi jongos". Selogan sedikit kasar yang pernah dia baca pada sebuah biografi bertahun lalu dan masih anteng bergelayut dipikirannya. Dia akan membuka usaha rumah makan.
"Kalau orang lain bisa sukses, masa aku tidak. Ini hanya masalah nyali. Ini masalah tekad dan kemauan. Ini tentang kaliber seseorang," begitu pikirnya
Seorang teman pernah meragukan keputusannya. Sekedar mengorek bulat atau perseginya keputusan yang dia buat, teman itu bertanya, "kawan, apakah keputusanmu itu sudah kau pikirkan masak-masak? Bagaimana kalau usahamu nanti gagal dan bangkrut? Keluargamu akan kau kasih makan apa?".
Tapi Bewok teguh kukuh belapis baja pada keputusannya. Dia menduga pertanyaan temannya itu hanya siasat jahat saja supaya dia tidak meninggalkannya dan tetap bekerja bersamanya. Dugaan busuknya, temannya itu tidak rela kalau suatu saat dia sukses dengan usahanya. Walau kekhawatiran akan kegagalan itu tetap ada, dia berusaha menjadi batu karang.
"Ah, kalau setiap manusia punya teman yang meragukan dan berhasil mempengaruhinya, dunia ini pasti masih berada di jaman batu sampai saat ini. Untung saja Pak Dirman, Bung Tomo, Bung Karno, Bung Hatta, dan para pendiri bangsa lainnya tidak mempunyai teman seperti itu. Mungkin juga ada, tapi tidak bisa mempengaruhinya. Ini tentang prinsip. Kalau saja masing-masing mereka punya satu dan berhasil mempengaruhinya, negara ini tidak akan pernah merdeka," begitu pikirnya, sekedar menguatkan hati.
Satu bulan berlalu. Bermodal uang jasa dari perusahaan, tabungan, dan pinjaman dari bank, Bewok membuka usahanya. Dia kontrak sebuah ruko milik temannya. Sebuah ruko dekat pasar yang cukup ramai, tidak jauh dari tempatnya tinggal. Walau letak ruko itu tidak terlalu strategis, tapi Bewok yakin akan rencananya.
"Usaha rumah makan itu usaha mengelola selera. Kalau selera sudah pas, lidah sudah terjerat, di dalam goa pun akan dicari," pikirnya. Apalagi menu andalan bikinannya sudah banyak yang memuji enak saat dia mengadakan uji pasar secara diam-diam ke para tetangganya.
Bulan pertama cukup sukses. Banyak orang yang hampir setiap hari datang untuk makan di rumah makannya, atau membeli masakannya untuk di bawa pulang. Bulan berikutnya, penjualan kurang menggembirakan. Terlebih setelah harga BBM galau, naik dan turun tidak tentu rumusnya, rumah makan Bewok semakin sepi dan penjualan semakin mengkerut. Masuk bulan ke enam, usaha rumah makan Bewok semakin sesak nafas. Bisnis Bewok sekarat, sementara hutang bank harus tetap dibayar angsurannya dan rumah makan harus tetap buka, apapun yang terjadi.
Bewok berpikir keras. Bagaimana cara supaya rumah makannya bisa ramai pengunjung lagi. Dalam kebuntuan, tiba-tiba seorang temannya dari kampung menelepon. Setelah berbasa-basi.
"Aku mau minta tolong. Kau kan punya rumah makan, aku ingin titipkan anak gadisku supaya bisa bekerja di rumah makanmu. Jadi apa saja lah. Sekedar cuci piring saja sih, dia bisa. Dari pada dia di sini. Paling tidak, dia bisa punya pengalaman di kota," lewat telepon, tamannya menjelaskan.
"Anakmu Munaroh?" Tanya Bewok.
"Bukan. Adiknya, Maesaroh" sahut temannya.
"Kawan, bukan apa-apa. Usahaku saat ini sedang lesu. Aku belum bisa mengambil karyawan. Bahkan karyawan yang sejak awal ikut bersamaku pun aku berhentikan karena aku sudah tidak bisa menggajinya," kata Bewok menjelaskan keberatannya.
"Tolong aku kawan, aku mohon. Anakku ingin sekali bekerja di kota. Biarlah, untuk sementara dia bekerja di warung makanmu," rengek temannya.
Seperti biasa, Bewok menyerah. Bewok KO oleh rasa ibanya. Akhirnya dia setuju untuk menerima permintaan temannya itu dengan catatan, dia tidak bisa memberi gaji yang sesuai. Temannya pun setuju.
Dua hari setelah temannya itu menelepon, datang seorang gadis ke warung makan Bewok. Seorang gadis yang terlihat menarik walau penampilan kampungnya masih sangat kentara. Gadis itu memohon untuk bisa ikut bekerja di warung makannya. Bewok menduga gadis ini Maesaroh, putri temannya dari kampung. Datang membawa satu tas besar penuh pakaian, satu tas tangan berisi perlengkapan pribadi, penampilan dan muka yang kusut karena perjalanan jauh, juga sepasang mata yang indah tapi seperti menyimpan rahasia.
"Kamu Maesaroh ya?" tanya Bewok.
Gadis itu sejenak terdiam lalu menjawab pelan sambil menunduk, "iya".
"Ya sudah, kamu istirahat dulu. Besok saja kamu mulai bekerjanya," lanjut Bewok. Kemudian Bewok menunjukkan kamar untuk gadis itu di lantai atas rukonya. Sebuah kamar yang sudah dia siapkan itu sebelumnya digunakan untuk gudang penyimpanan beberapa barang keperluan rumah makannya.
Perlahan tapi pasti, sejak ada Maesaroh membantu melayani, rumah makan milik Bewok kembali ramai dan bisnis pun mulai bergairah. Di hari-hari pertamanya, memang ada semacam kecanggungan saat melayani pembeli. Tapi itu tidak berlangsung lama. Maesaroh cepat sekali menyesuaikan diri, bahkan terlalu cepat. Paras yang menarik dan keramahtamahan yang menggoda dari Maesaroh membuat pembeli, terutama laki-laki, kembali datang dan makan di rumah makan itu. Tiga bulan sejak ada Maesaroh, rumah makan bewok maju pesat. Pengunjung selalu penuh, terutama pada jam-jam makan siang dan malam. Bewok pun sudah menambah dua orang lagi karyawannya untuk membantu melayani pembeli.
Suatu hari, sambil memandang Maesaroh yang tengah membersikan meja, Bewok jadi ingin menelepon temannya di kampung, Bapaknya Maesaroh. Dia ingin memberi kabar kesuksesannya dan ingin mengucapkan terimakasih. Begitu telepon di seberang diangkat, Bewok langsung membombardir
"Halo kawan, aku Bewok. Iya, ini aku Bewok. Maaf aku baru bisa telpon. Kenapa? Kau tidak bisa telpon aku? Ha ha ha ha, aku ganti nomor. Orang bank itu terlalu rewel. Aku tidak tahan ditagih angsuran terus setiap hari, ha ha ha ha. Aku sungguh tidak menyangka, kawan. Untung saja waktu itu kau meminta aku untuk menerima anakmu membantu di rumah makan. Anakmu, Maesaroh sungguh membawa keberuntungan untukku. Dia benar-benar ajaib. Sejak ada dia, rumah makanku selalu ramai pembeli. Kalau dia punya adik, boleh juga kau titipkan di sini. Biar bisnis rumah makanku semakin besar, ha ha ha ha. Kau punya anak yang hebat kawan".
Seperti tidak ingin memberikan kesempatan, Bewok melanjutkan, "kau tentu ingin tahu kabar Maesaroh. Dia baik-baik saja di sini. Kau tenang saja kawan. Dia sehat-sehat saja. Sekarang ....".
Sambungan telepon terputus.
"Ah, pulsaku habis rupanya," gumam Bewok lirih.
Tidak berapa lama, datang pesan singkat dari temannya itu.
"Aku mohon maaf kawan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Barusan aku ingin telpon balik, tapi aku urungkan. Aku khawatir kau semakin meracau. Lagi pula aku tidak kau beri kesempatan untuk bicara. Kawan, aku minta maaf. Aku minta maaf karena anakku Maesaroh waktu itu tidak jadi berangkat untuk bekerja di rumah makan milikmu. Dia meninggal karena kecelakaan dua hari setelah aku telpon dirimu. Maafkan aku kawan. Kalau boleh aku memberi saran, kau ikhlaskan saja semuanya sebagaimana aku mengikhlaskan anakku, Maesaroh. Jangan terlalu kau pikirkan. Jatuh bangun dalam dunia dagang itu biasa. Lebih mendekatkan diri saja pada Tuhan, supaya kau lebih tenang menghadapi kegagalan ini. Salam buat keluarga".
Bewok berulang-ulang membaca lagi pesan singkat temannya itu, sambil sesekali memandang "Maesaroh" yang sedang melayani pembeli.
Indramayu, 22 April 2015
Tulisaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar