REALISTIS
Sore ini Bewok pulang dengan membawa sebungkus amarah pada mukanya yang membara. Dia marah setengah gila usai mendengarkan sosialisasi program desa di balai desa sore itu. Bewok marah demi mendengar rencana pemindahan semua makam, termasuk makam ibu dan bapaknya dari pemakaman umum Kober. Rencananya areal pemakaman akan dialihfungsikan menjadi tempat pembuangan akhir sampah. Menurut informasi dari pak Lurah pada sosialisasi program desa sore itu, areal pemakaman tidak lama lagi akan dipindahtangankan dari pemda ke sebuah PT yang akan menjadi pengelola sampah ibukota.
Menyeberangi pintu depan rumahnya dan masuk ke dalam tumpukan gombal persoalan pribadi pada ruang-ruang sempit rumah kumuhnya membuat amarahnya yang sudah bengkak tua itu pun meledak.
"Terlalu. Ini sudah kelewatan. Masa makam emak bapak kita mau dijadikan tempat sampah. Ini tidak benar. Ngaco sengaco-ngaconya. Yang mereka pikirkan hanya uang, ngga mau pikirkan perasaan. Pokoknya aku tidak setuju kalau areal pemakaman itu dijadikan tempat sampah" omelnya. Istrinya hanya bisa termangu tidak mengerti.
"Aku harus kumpulkan orang-orang yang keluarganya dimakamkan di situ. Mereka harus menolak rencana gila itu. Ini sungguh gila. Benar-benar gila. Rencana itu tidak boleh dibiarkan berjalan mulus. Kalau perlu harus diganjal dengan tubuh ini, aku rela" lanjutnya.
Besok harinya Bewok mulai bergerak menghubungi para keluarga yang sanak saudaranya dimakamkan di pemakaman Kober. Berbekal buku data makam dari juru kunci, Bewok berhasil menghubungi puluhan keluarga di hari pertama. Seminggu dia bekerja menghubungi orang-orang dari data makam. Maka terhimpunlah kurang lebih tiga ratusan orang yang mendukung gerakannya menolak relokasi makam. Maka disepakatilah satu hari untuk mengadakan pertemuan pertama dari beberapa orang perwakilan.
Dalam pertemuan yang diadakan di salah satu rumah warga, Bewok menyampaikan 'orasi'-nya tentang alasan-alasan penolakan relokasi makam, tentang kecurigaan-kecurigaan adanya kongkalikong antara para pimpinan daerah dan fihak PT sehingga memunculkan rencana itu dan tentang ajakannya kepada para warga untuk menolak rencana tersebut.
"Pokoknya kita harus gagalkan rencana gila itu. Kalau tidak, kita bisa kena kualat. Kalau perlu kita tukar dengan nyawa kita" pidatonya penuh semangat.
"Setujuuuuu..."
"Gagalkan ... gagalkan.... gagalkan....."
"Hidup pak Bewok" teriak salah seorang dari mereka.
Dijawab serempak "hiduuuupp....."
Pada pertemuan itu juga disepakati dirinya menjadi 'koordinator aksi penolakan' rencana relokasi makam.
Mengetahui bahwa ada sekelompok orang yang akan menentang rencana relokasi makam dan mengetahui bahwa salah satu warganya menjadi koordinator aksi, pak Lurah panik. Dia undang Bewok dan tiga orang warga lainnya sebagai perwakilan ke rumahnya. Setelah basa-basi menanyakan kabar, pak Lurah langsung pada pokok masalah.
"Saya dengar bapak-bapak tidak setuju atas rencana relokasi makam. Memangnya kenapa?" tanya pak Lurah.
Bewok angkat bicara, "Jelas kami tidak setuju pak Lurah, di sana ada makam orang tua kami, sodara-sodara kami. Masa makam mereka harus dipindahkan dan bekasnya dijadikan tempat sampah? Terlalu. Itu bisa mengusik ketenangan mereka. Kasihan mereka. Pak Lurah mungkin tidak merasakan apa yang kami rasakan karena pak Lurah tidak punya anggota keluarga yang dimakamkan di sana. Apalagi Pak Lurah kan pendatang, jadi pak Lurah tidak punya kenangan sama sekali dengan orang-orang yang dimakamkan di sana".
"Pemakaman itu bukannya akan dijadikan tempat sampah pak Bewok, tapi direlokasi terlebih dahulu dan areal bekas pemakaman akan dijadikan tempat pengolahan limbah ibu kota" jelas pak Lurah.
"Sama saja pak Lurah, intinya dijadikan tempat sampah" tukas Bewok.
"Kalau bapak-bapak tidak setuju, berarti bapak-bapak menghambat pembangunan. Sementara limbah ibu kota sudah mendesak mendapatkan penanganan yang tepat. Kebetulan ada infestor yang bersedia menangani limbah. Susah loh mencari infestor yang bersedia mengurusi sampah. Jadi, tolonglah bapak-bapak, jangan halang- halangi rencana ini. Bagaimana bapak-bapak?" pak Lurah menjelaskan.
"Pokoknya kami tidak setuju pak Lurah. Apapun alasannya. Kalau rencana ini tetap diteruskan, kami sudah siap untuk adakan demo, kalau perlu kami mogok makan. Kami akan menolak rencana itu walau harus ditukar dengan nyawa kami" ancam Bewok dengan heroik.
Seminggu kemudian Bewok diundang kembali ke rumah pak Lurah secara pribadi. Hanya Bewok sendiri saja, tanpa warga yang lain sebagai perwakilan.
"Pak Bewok, perkenalkan. Ini bapak Sonjaya perwakilan dari fihak PT. Beliau meminta saya untuk mengundang bapak sendiri saja. Beliau ingin berkenalan dan bersilaturahim dengan bapak Bewok secara pribadi" kata pak Lurah memperkenalkan seseorang kepada Bewok.
Bewok pun menyalami pak Sonjaya, masih dengan raut muka dingin, acuh tak acuh.
"Pokoknya aku harus bertahan pada pendirianku semula. Aku tidak boleh kalah bahkan kalaupun bapak ini mengancam" pikir Bewok.
"Ini demi makam leluhur kami. Ini demi kehormatan keluarga kami. Tidak pantas mereka memperlakukan orang-orang tua kami, sanak sodara kami seperti itu. Apapun yang akan dijelaskan oleh bapak ini, harus tetap ditentang, jangan diberi angin sedikitpun. Tidak ada tawar menawar. Ini harga mati" batin Bewok sibuk membuat pertahanan.
"Bagaimana kabarnya pak Bewok?" tiba-tiba pak Sonjaya bertanya.
"Baik" jawab Bewok singkat.
"Kalau pak Bewok asli dari sini?" lanjut pak Sonjaya.
"Ya" jawab Bewok, lebih singkat.
"Kalau istri pak Bewok?
"Sama, asli orang sini juga"
"Oo begitu ya. Punya anak berapa pak Bewok?"
"Satu" jawab Bewok sambil menduga-duga kemana arah pembicaraan dari pak Sonjaya.
"Masih sekolah?"
"Iya, kelas delapan"
"Susah ya menyekolahkan anak di jaman sekarang. Apalagi kalau anaknya pintar. Kalau tidak diteruskan, sayang sama kemampuan anak. Tapi kalau diteruskan, biayanya cukup memberatkan, terutama kalau sudah masuk di perguruan tinggi, minta ampun. Sukur-sukur bisa mendapatkan beasiswa. Nah kalau harus biaya sendiri? Beratnya minta ampun. Harus mati-matian banting tulang peras keringat cari uang. Kira-kira pak Bewok kepingin tidak anak pak Bewok bisa kuliah dan lulus jadi sarjana?".
"Siapa orang tua yang tidak ingin anaknya sukses pak? Termasuk saya juga kepingin anak saya sukses jadi sarjana. Tapi hidup harus realistis. Sepertinya saya tidak mungkin bisa membiayai sekolah anak saya kalau masuk ke perguruan tinggi nanti" jawab Bewok yang berubah menjadi murung.
"Pak Bewok jangan pesimis begitu dong. Kalau perusahaan pengelolaan sampah nanti sudah berjalan, akan diadakan beasiswa pendidikan untuk beberapa orang anak dari desa ini, tentu saja untuk anak pak Bewok kami prioritaskan. Kami akan berikan beasiswa sampai lulus S1 pak Bewok. Jangan khawatir, untuk anak pak Bewok saya sendiri yang menjamin pasti mendapatkan beasiswa itu. Dan ini sekedar bantuan buat biaya pendidikan anak pak Bewok selama perusahaan belum berdiri, semoga cukup. Satu hal lagi, barangkali nanti pak Bewok ingin bekerja pada perusahaan kami, menghadap saya saja, tidak usah sungkan-sungkan. Seperti yang pak Bewok bilang tadi, hidup harus realistis, ha ha ha".
Segudang masalah hidup dan membayangkan masa depan anaknya membuat Bewok seperti orang terhipnotis. Hanya diam tapi tangannya menerima amplop coklat besar yang disodorkan pak Sonjaya. Pembicaraan pun selesai dan Bewok pamit pulang.
Sampai di rumah dengan gemetar Bewok membuka amplop coklat besar yang sudah sejak dia terima tadi membuat jantungnya berdegup tidak beraturan dan keringat dingin tidak mampu lagi dicegah untuk keluar. Mulut Bewok ternganga panjang menyaksikan isi amplop coklat besar itu. Lima bundel pecahan seratus ribu rupiah berjumlah total lima puluh juta rupiah dan secarik kertas bertuliskan "semoga cukup".
Seminggu kemudian, Bewok mengumpulkan lagi perwakilan warga penolak relokasi makam. Dia mulai menjelaskan "Bapak-bapak sekalian. Ternyata selama ini kita terlalu dikendalikan oleh emosi. Kita tidak memberi waktu sedikitpun untuk diri kita sendiri merenungkan hikmah dari relokasi makam itu. Saya sendiri, setelah saya renungkan dan saya pikirkan masak-masak, saya baru sadar begitu banyaknya manfaat dari relokasi makam dan pendirian perusahaan itu. Di areal makam yang baru, makam sodara-sodara kita akan lebih tenang dan jauh dari hiruk-pikuk desa. Desa kita ini juga akan menjadi lebih produktif, lebih menghasilkan dengan berdirinya perusahaan itu. Desa kita akan bisa berkembang, warga desa bisa buka usaha dagang warungan di sekitar pabrik. Bahkan warga yang punya keahlian bisa bekerja di perusahaan itu. Dengan mengijinkan relokasi makam berarti kita mendukung program pemerintah sekaligus membantu diri kita sendiri. Bapak-bapak tidak usah khawatif karena dengan teknologi pengolahan yang akan diterapkan, sampah yang ada tidak akan mengganggu, baik dari bau maupun dari suara yang dikeluarkan oleh mesin pengolahan. Jadi menurut saya, kita tidak lagi punya alasan untuk menolak rencana relokasi makam Kober. Bapak-bapak sekalian, hidup harus realistis. Bagaimana bapak-bapak?"
Warga hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasan Bewok. Faham tidak faham mereka menyetujui pendapat Bewok karena dengan beban hidup yang berat mereka sudah malas berpikir untuk mempertimbangkan sesuatu.
"Memang benar, hidup harus realistis" gumam Bewok murung saat menyaksikan perwakilan warga bubar.
Indramayu, 11 Oktober 2014
Tulisaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar