Entri Populer

Sabtu, 03 Maret 2018

GAPURA PONDOK GEDE

Gapura Pondok Gede

Gapura ini adalah mulut jalan menuju bangunan besar itu, Pondok Gede. Jalannya menanjak berbatu. Di sisi kanan jalan, ada dua bangunan yang cukup menakutkan bagiku waktu itu.

Bangunan pertama semacam tempat pembakaran dengan tungku yang besar dengan cerobong acap menjulang tidak terlalu tinggi. Bangunan kedua sepertinya pabrik pengolahan karet. Di dalamnya ada beberapa unit gilingan besar, seperti alat penggiling kulit molen pisang berukuran besar, dengan lebar gilingan sekitar satu meter. Ada juga beberpa guci buatan cina dengan mulut guci lebar. Seperti mangkok besar, cukup untuk aku masuk mandi berendam. Tingginya sedadaku saat itu. Mangkok-mangkok besar itu digunakan untuk menampung cairan amoniak untuk merendam bahan baku karet. Beberapa diletakkan di luar banguan untuk menampung air hujan.

Selepas bangunan kedua adalah halaman banguan utama.

Akan banyak yang aku ingat tentang bangunan itu, gapura itu, jalan itu, lapangan itu, bahkan aku masih ingat pohon-pohon besar di sekitarnya, rumah-rumah tua di sekelilingnya. Aku masih ingat tanah-tanahnya, sumur-sumurnya, keluarga-keluarga tetanggaku di lingkungan itu. Komplek Inkopau, begitu orang menyebutnya dulu dan sekarang sudah beralih wujud menjadi Pondok Gede Mall. Selamat Datang Di Pondok Gede Mall

Catatan:
Gedung Pondok Gede dan area sekitar pernah dijadikan lokasi utama shooting film Benyamin Sueb berjudul Tiga Jango

Aku tulis ini sambil menahan rasa sedih mengingat semua tidak akan bisa disaksikan lagi

26 Nopember 2017

tino

PONDOK GEDE

PONDOK GEDE

Bangunan inilah yang menjadi asal-usul nama daerah Pondok Gede. Sebuah kecamatan di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi Barat.
Bangunan inilah tempat aku menghabiskan masa anak-anak sampai remajaku. Detilnya masih aku ingat betul. Saat sore sehabis bermain sepak bola di lapangan depan bangunan, kami seringkali menunggu ribuan kelelawar keluar dari celah-celah gentengnya. Buat kami itu seperti alarm "hari sudah sore dan sebentar lagi maghrib datang". Sering juga di hari Minggu pagi, sepulang lari pagi, kami berbaring terlentang di halaman gedung untuk menyaksikan ribuan kelelawar itu pulang dari petualangannya sepanjang malam. Dari ketinggian satu persatu menukik deras menuju celah-celah genteng lalu berhenti dan masuk ke loteng gedung.

Satu waktu aku pernah diajak kakak iparku, yang bekerja di perkebunan karet dan berkantor di gedung itu, melihat loteng gedung. Kami menaiki tangga dan masuk ke loteng. Terbentang loteng dari kayu tebal berlapis kotoran kelelawar menyerupai karpet tebal dan empuk. Baunya yang menyengat masih bisa aku rasakan sampai saat ini. Di atap terlihat gundukan-gundukan hitam dari gerombolan kelelawar yang menggantung. Beberapa masih menciap-ciap dan berterbangan pindah dari satu tempat ke tempat lain. Cukup gelap dan lembab, tapi aku masih bisa melihat meraka dibantu cahaya dari sisa-sisa celah genteng yang tidak tertutup gundukan hitam.

Bangunan ini banyak ditopang tiang-tiang kayu jati panjang sebesar pelukan orang dewasa. Dibagi menjadi banyak ruang. Seingatku, bagian depan tengah bangunan adalah kantor perkebunan karet, tempat dimana kakak iparku bekerja. Kantor perkebunan itupun bersekat-sekat lagi. Tengah bagian belakang dijadikan poliklinik. Aku ingat ada seorang dokter yang menjadi momok buat anak-anak seusiaku saat itu, namanya dr. Simon. Membayangkan sosoknya akan sangat menakutkan bila aku sedang sakit dan harus ke dokter.

Bagian sayap kiri dari banguan di tempati sebuah keluarga besar Bapak Nandika. Beberapa cucu beliau menjadi teman bermain kami waktu kecil. Di bagian kanan ada sebuah gudang besar yang kemudian difungsikan menjadi aula, tempat banyak aktivitas ikatan remaja diselenggarakan.(Bersambung)

Rabu, 19 Juli 2017

Karenamu

KARENAMU

Kenapa aku mulai menyukai kayu?
Aku mulai belajar memotong
Aku mulai mengayunkan serut
Aku mulai berani memukul pahat

Karena sebentar lagi akan aku bikin sepasang bangku yang nyaman
Dan sebuah meja kopi yang lebar dan kokoh
Untuk kita berlama-lama berdua
Menghabiskan sisa sisa masa tua

Tentu kau masih ingat tiga botol kosong bekas kecap yang aku bawa
Akan aku jadikan ketiganya serangkaian lampu hias
Yang akan aku tempatkan tepat di atas meja

Cahayanya yang temaram bercampur aroma kopi yang kau suguhkandalam balutan keteduhan pandanganmu
Akan membuat aku terus berharap bahwa waktu tidak pernah beranjak

Kasih
Bolehkah aku minta
Secangkir kopi lagi?
Karena di sore ini kita masih punya banyak waktu untuk bersama.

RS Sumber Kasih Cirebon, 13 Juli 2017

tino

Sabtu, 28 Januari 2017

Perang

Perang

Aku mulai mencium aroma perang
Bubuk-bubuk mesiu sudah mulai dituangkan ke dalam tabung-tabung kebencian
Bercampur kerak dari hati manusia berkarat
Siap diledakkan untuk membunuh lawan

Saat perang terjadi
Akan tersibak aslinya manusia
Banyak peran yang ditawarkan
Apakah akan menjadi pejuang yang gagah berani
Atau menjadi si penakut yang terus bersembunyi
Atau menjadi si muka dua yang dukung kanan kiri
Putih, hitam dan abu-abu

Dan aku boleh ambil peran mana saja yang aku mau
Dan kau boleh ambil peran mana saja yang kau mau
Dan mereka boleh ambil peran mana saja yang mereka mau
Dan aku, kau dan mereka boleh ambil posisi mana saja yang kita mau untuk berpihak
Karena ini perang, ini masalah nyali

Kalau aku dan kau tidak dalam pihak yang sama, maka kita akan saling berhadapan
Kalau aku dan kau dalam satu pihak yang sama, maka kita akan berjuang bersama

Tidak ada yang diuntungkan dari perang
Kalah atau menang sama-sama hancur
Karena aku hanya membela aku dan kau membela akumu
Kecuali dalang yang akan segera berpesta
Sementara kita binasa

Jatibarang, 28 Januari 2017

tino


Rabu, 16 November 2016

Kebenaran

KEBENARAN

Mereka menggenggam kebenarannya masing-masing dalam kepalannya. Menggenggam erat hingga kuku-kuku jari menghunus telapak tangan. Melindungi dengan kokoh. Tidak ingin jari-jari merenggang dan kebenaran terlepas. Darah pun mulai menetes.

Mereka seperti anak-anak yang tengah menyembunyikan kelereng terbaik mereka. Tidak boleh seorangpun melihatnya. Di saat ada yang memaksa ingin melihat, genggaman menjadi semakin kuat.

Semakin keras tangan menggenggam, semakin terilusi bahwa kebenaran di dalam bersinar benderang. Mereka semakin tidak ingin melepaskan. Masing-masing menganggap kebenaran miliknyalah yang paling cemerlang.

Dibawanya kemanapun pergi sambil terus membayangkan pancarannya yang memenuhi ruang telapak tangan. Hingga saat tiba di sisi pembaringan, akan ditaruhnya kebenaran ke dalam guci tembikar.

Dibukanya kepalan dan direkahkannya jemari. Tidak ditemukan apapun di telapak berdarah. Kosong. Hanya terisa empat lubang luka. "Kemana perginya kebenaranku?" tanyanya kelu. "Padahal sedari pagi ada dalam genggamanku".

Dan merekapun harus terlelap dengan kebenaran yang baru yang dibuatnya sesaat sebelum tidur. Sementara aku di sini juga sudah lelap dengan kebenaran yang aku punya.

Jatibarang 17 Nopember 2016

tino

Jumat, 13 November 2015

Kembali

KEMBALI

Gedung-gedung masih pulas dan basah sehabis hujan semalam. Halte-halte busway benderang oleh lampu-lampu terang tapi kosong. Jalan-jalan sedikit tergenang menyediakan cermin untuk langit memantas diri menyambut pagi. Hari mulai menggeliat katika aku harus tinggalkan kota.

Stasiun Gambir, tempat aku akan dilesatkan untuk kembali ke alam nyataku. Alam di mana aku harus kembali kepada rutinitas; bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, bekerja, pulang, istirahat dan tidur. Rutinitas sebagai budak kebutuhan, budak dunia yang lapar.

Stasiun Gambir, hidup dua puluh empat jam sehari, tidak pernah sepi. Tempat di mana orang-orang dikumpulkan dalam kotak-kotak tujuan dan dipindahkan ke mimpi mereka masing-masing. Dini hari mereka terlihat bergerak seperti robot-robot karena masih enggan untuk berbicara. Mencari tiket, menaiki anak tangga, masuk ke gerbong, duduk dan terlelap.

Peluit melengking memberi tanda untuk kereta agar segera berangkat. Peluit yang sama menamparku memberi tahu bahwa cutiku telah berakhir dan itu berarti aku harus kembali ke kubanganku lagi.

Gambir, 14 Nopember 2015

tino

Kamis, 17 September 2015

Sombong

SOMBONG

Bahkan mengaku tidak sombong adalah kesombongan.

Dan dalam tulisan inipun sepertinya ada terselip secuil kesombongan karena aku sudah menuangkannya.

Apakah sebaiknya aku diam?

Tak usahlah kau jawab. Aku khawatir kesombongan berpendapat ikut mengalir dalam jawabanmu dan akan lebih mengotori apa yang sudah bernoda.

Oh wahai
Betapa mudahnya manusia berbuat sombong padahal sombong itu karakter purba iblis.

Tuhan, ambil saja hati ini sekiranya aku tidak akan mampu menjaganya dari rasa sombong.

Jatibarang, 18 September 2015

Tulisaja