BANGGA
"Aku senang sekali loh jeng. Anak itu memang anak yang luar biasa. Coba saja diajeng bayangkan. Dia selalu juara kelas sejak SD, SMP, SMA. Bahkan masuk kuliah pun tanpa tes tes segala macem. Tinggal masuk. Dapat beasiswa lagi. Gimana ndak bangga jeng," suara seorang perempuan di bangku belakang supir, di depan bangkuku, membombardir seisi minibus travel yang aku tumpangi. Suara perempuan itu menekuk habis suara mesin mobil hingga merampas kebebasan setiap telinga. Tapi sepertinya orang yang dia ajak bicara tidak menanggapinya.
"Bayangkan jeng, belum juga selesai dia kuliah, sudah banyak perusahaan besar yang booking dia, ha ha ha ha macam kamar hotel saja ya pakai booking booking segala. Sepertinya masa depan bisa dia buat sendiri. Sudah terbayang bakal seperti apa hidupnya nanti. Bakal sukses gilang-gemilang. Teman saya bilang sih, seperti hidup di surga, apa yang disebut, sekejap bakal nyata, ha ha ha ha".
"Belum lagi tampangnya jeng. Gantengnya minta ampun. Pujaan setiap wanita di kampusnya. Ndak ada yang ndak mau dipacari dia. Tapi ndak tahu kenapa, dia belum mau punya pacar. Mungkin ingin konsentrasi di pelajaran supaya bisa lulus 'summa cum laude'. Kalau diajeng masih muda, diajeng juga pasti pingin jadi pacar dia, ha ha ha ha".
Orang yang diajak bicara oleh perempuan itu tidak juga menanggapi. Sementara aku diam-diam ikut mengagumi anak yang diceritakan oleh perempuan itu dan ikut menikmati rasa bangganya. Dengan kurang ajar, aku mulai berkhayal kalau orang yang diceritakan perempuan di depanku itu adalah aku. Tidak perlu waktu lama, khayalanku sudah membius, menyuguhkan cerita yang sungguh beda dari takdir yang sudah kepalang 'nemplok' di badanku. Khayalan yang baru secuil pun buyar ketika supir harus injak pedal rem dengan mendadak karena seekor kucing berlari menyebrang jalan. Sejenak kepanikan menampar lamunan semua penumpang, lalu kembali normal.
Perempuan di bangku belakang supir itu kembali melanjutkan, "tapi sepertinya dia ndak tertarik tawaran kerja dari perusahaan-perusahaan besar itu. Aku kira dia akan melanjutkan kuliahnya, ambil S2 di luar negeri. Wong katanya banyak juga yang sudah tawari dia beasiswa untuk kuliah di luar. S2 lulusan luar negeri, itu kan jaminan mutu loh jeng. Bisa bikin dia kewalahan dikejar-kejar rejeki. Bukan begitu jeng?".
Tanpa menunggu tanggapan dari teman ngobrolnya, dia melanjutkan, "kalau rejeki yang sudah kejar-kejar dia, perempuan mana yang ndak akan kejar-kejar dia. Iya ndak? Mungkin itu yang bikin dia ndak mau punya pacar dulu sampai sekarang".
Mungkin karena lelah bicara, mungkin juga karena tidak pernah mendapat tanggapan dari temannya, perempuan itu tidak bicara lagi dan akhirnya tertidur sambil memeluk rasa bangganya.
Tiba di tempat istirahat, semua penumpang travel turun untuk beristirahat, makan atau sekedar ke toilet. Kebetulan aku berpapasan dengan teman seperjalanan perempuan tadi, saat menuju wastafel rumah makan. Seorang ibu yang sebaya dengan perempuan tadi. Karena dia tersenyum saat berpapasan, aku jadi iseng untuk bertanya.
"Maaf ibu, kalau yang duduk di sebelah ibu tadi itu teman ibu?" Tanyaku.
"Betul dik, memangnya ada apa?" Jawab ibu itu dan balik bertanya.
Merasa diberi kesempatan, aku teruskan pertanyaan yang sempat aku ragukan, "memang anak beliau kuliah di mana?".
Ibu itu sedetik tertegun, lalu, "anaknya siapa?".
"Anak teman ibu," jawabku.
"Oh, anak teman ibu itu sudah bekerja semua. Tidak ada yang kuliah"
"Jadi, yang beliau ceritakan tadi siapa?" Tanyaku penasaran.
Ibu itu mendekatkan wajahnya ke telingaku, lalu setengah berbisik dia bilang, "ibu sendiri tidak tahu siapa yang dia ceritakan. Sudah biasa dia seperti itu, ha ha ha ..." tawanya pelan sambil menarik kembali wajahnya dari telingaku.
Indramayu, 8 Mei 2015
Tulisaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar