DARKNESS
The dark to be darkness
It's so imposible to kill my mind
To make the situation right
While evil intimidate
me tight
Help me
Just a simple thing for You
The sorrow inside
That I can't release to kill the pain
Something dark in my heart
Not easy to make it glad
Silent perhaps it bright
Quiet will hide depressing thing at deepest side
Indramayu, 11 Januari 2015
Tulisaja
Blog ini dengan sadar dibuat untuk menampung muntahan isi kepala yang seringkali lumer dan meleleh berupa tulisan yang kadang jelas kadang samar, kadang cerah kadang suram, kadang riang kadang murung. Semoga masih bisa dinikmati. Tino
Entri Populer
-
DI DUNIA Prosesnya adalah : 1. Lahir 2. Balita 3. Anak-anak 4. Remaja 5. Dewasa 6. Tua 7. Mati Catatan : Mati ...
-
PONDOK GEDE Bangunan inilah yang menjadi asal-usul nama daerah Pondok Gede. Sebuah kecamatan di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi Barat. ...
-
KUACI Kasih Mungkin inilah cara terbaik kita menutup hari Biarkanlah hanya jari dan mulut kita yang menari mencari Habiskan sisa ...
-
NASI UDUK Nasi uduk berkawan karib dengan bawang goreng dan emping. Dari dulu begitu, ga pernah berubah. Ada kawan-kawan lain yang mengisi ...
-
KEROCO Namaku Keroco. Ini bukan nama samaran atau julukan, apalagi nama penaku. Sungguh ini nama asli pemberian orang tuaku yang tercantum ...
-
REALISTIS Sore ini Bewok pulang dengan membawa sebungkus amarah pada mukanya yang membara. Dia marah setengah gila usai mendengarkan sosial...
-
Gapura Pondok Gede Gapura ini adalah mulut jalan menuju bangunan besar itu, Pondok Gede. Jalannya menanjak berbatu. Di sisi kanan jalan, ad...
-
RELATIF Aku kaya juga miskin Aku pintar juga bodoh Aku baik juga buruk Aku bagus juga jelek Aku benar juga salah Aku ini juga itu Aku...
-
MAESAROH Akhirnya Bewok memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Pekerjaan yang sudah belasan tahun dia geluti, sebagai karyawan di sebua...
-
RUBIK Masih ingat dengan permainan ini? Mudah-mudahan masih ingat. Saat duduk di bangku SD, saya mencoba permainan ini, tidak pernah bisa,...
Rabu, 28 Januari 2015
Jumat, 16 Januari 2015
Sempurna
SEMPURNA
Cuaca mendung seharian menemani kalutnya pikiran. Sepertinya akan sempurna kalau sisa hari ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu-lagu bluesnya Jimi Hendrix.
Laki-laki juga boleh menangis kan? Beri aku waktu sebentar untuk sendiri. Aku hanya perlu waktu untuk keluarkan satu tetes saja. Tidak lebih. Karena satu tetes air mata yang keluar dari seorang laki-laki pastinya bersumber dari sayatan luka yang paling perih. Dari sebuah kecamuk yang paling rumit.
Bleeding Heart, satu lagu blues dari Jimi Hendrix masih play on dan akan disusul Hear My Train Comming (accoustic). Aku benar-benar remuk sempurna.
Indramayu, 17 Januari 2015
Tulisaja
Cuaca mendung seharian menemani kalutnya pikiran. Sepertinya akan sempurna kalau sisa hari ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu-lagu bluesnya Jimi Hendrix.
Laki-laki juga boleh menangis kan? Beri aku waktu sebentar untuk sendiri. Aku hanya perlu waktu untuk keluarkan satu tetes saja. Tidak lebih. Karena satu tetes air mata yang keluar dari seorang laki-laki pastinya bersumber dari sayatan luka yang paling perih. Dari sebuah kecamuk yang paling rumit.
Bleeding Heart, satu lagu blues dari Jimi Hendrix masih play on dan akan disusul Hear My Train Comming (accoustic). Aku benar-benar remuk sempurna.
Indramayu, 17 Januari 2015
Tulisaja
Kamis, 15 Januari 2015
Natural
NATURAL
"Cut !", teriak sang sutradara menghentikan adegan yang tengah berlangsung.
"Ini sudah berapa kali diulang? Aktingnya yang natural dong. Ayo coba lagi ya".
"Siap. Kameraaaaa .... eksyen".
Dua orang pemain itu pun mulai berakting lagi. Baru saja dialog dimulai, sutradara itu kembali menghentikan adegan.
"Cut ! Aduh Bunga, coba aktingnya yang enak, yang natural. Masa ngga bisa. Bisa kan?"
Bunga, artis penuh sensasi itu tersenyum dan mengangguk.
"Ok, kita coba lagi".
"Cameraaaa ..... eksyen".
Kembali, Bunga dan pasangan mainnya mulai berakting. Dialog baru meluncur beberapa kalimat ketika tiba-tiba sutradara kembali berteriak.
"Cut ... cut !"
"Sudah aku bilang natural natural. Bisa ngga sih? Ini bukan sinetron. Ini film. Bunga, coba yang natural. Jangan kaku seperti itu. Jangan disamakan dengan sinetron" omel sang sutradara dengan nada jengkel yang mulai kentara.
Melihat Bunga mulai kehilangan mood, sutradara menghentikan shooting dan meminta semua crew istirahat.
"Ok, kita rehat saja dulu, satu jam. Tepat satu jam dari sekarang kita mulai lagi".
"Bunga, coba dalami lagi skenarionya, dialognya. Latih lagi aktingnya. Di sinetron boleh asal akting, di film ini ngga bisa asal. Ok?" pinta sutradara kepada Bunga sedikit ketus.
Bunga, artis dengan banyak berita sensasional itu pun kembali ke mobilnya dengan wajah cemberut.
Seluruh crew pun bubar. Ada yang ngobrol sambil berteduh di rindang pohon besar dekat lokasi. Lebih banyak yang kembali beristirahat ke mobil masing-masing.
Asisten sutradara menghampiri sang sutradara yang masih duduk di bangku sutradara dalam posisi menunduk bungkuk dengan kedua telapak tangan ditangkubkan di muka dan kedua sikut tertanggal di atas paha.
"Susah ya boss", kata asisten sutradara sekedar berbasa basi.
Sang sutradara masih dengan posisi semula menanggapi, "akan menjadi sangat susah".
"Akting natural itu sangat susah".
"Apalagi buat Bunga, orang yang seluruh hidupnya adalah kepura-puraan, ngga natural. Dan sekarang banyak orang seperti dia".
Indramayu, 15 Januari 2015
Tulisaja
"Cut !", teriak sang sutradara menghentikan adegan yang tengah berlangsung.
"Ini sudah berapa kali diulang? Aktingnya yang natural dong. Ayo coba lagi ya".
"Siap. Kameraaaaa .... eksyen".
Dua orang pemain itu pun mulai berakting lagi. Baru saja dialog dimulai, sutradara itu kembali menghentikan adegan.
"Cut ! Aduh Bunga, coba aktingnya yang enak, yang natural. Masa ngga bisa. Bisa kan?"
Bunga, artis penuh sensasi itu tersenyum dan mengangguk.
"Ok, kita coba lagi".
"Cameraaaa ..... eksyen".
Kembali, Bunga dan pasangan mainnya mulai berakting. Dialog baru meluncur beberapa kalimat ketika tiba-tiba sutradara kembali berteriak.
"Cut ... cut !"
"Sudah aku bilang natural natural. Bisa ngga sih? Ini bukan sinetron. Ini film. Bunga, coba yang natural. Jangan kaku seperti itu. Jangan disamakan dengan sinetron" omel sang sutradara dengan nada jengkel yang mulai kentara.
Melihat Bunga mulai kehilangan mood, sutradara menghentikan shooting dan meminta semua crew istirahat.
"Ok, kita rehat saja dulu, satu jam. Tepat satu jam dari sekarang kita mulai lagi".
"Bunga, coba dalami lagi skenarionya, dialognya. Latih lagi aktingnya. Di sinetron boleh asal akting, di film ini ngga bisa asal. Ok?" pinta sutradara kepada Bunga sedikit ketus.
Bunga, artis dengan banyak berita sensasional itu pun kembali ke mobilnya dengan wajah cemberut.
Seluruh crew pun bubar. Ada yang ngobrol sambil berteduh di rindang pohon besar dekat lokasi. Lebih banyak yang kembali beristirahat ke mobil masing-masing.
Asisten sutradara menghampiri sang sutradara yang masih duduk di bangku sutradara dalam posisi menunduk bungkuk dengan kedua telapak tangan ditangkubkan di muka dan kedua sikut tertanggal di atas paha.
"Susah ya boss", kata asisten sutradara sekedar berbasa basi.
Sang sutradara masih dengan posisi semula menanggapi, "akan menjadi sangat susah".
"Akting natural itu sangat susah".
"Apalagi buat Bunga, orang yang seluruh hidupnya adalah kepura-puraan, ngga natural. Dan sekarang banyak orang seperti dia".
Indramayu, 15 Januari 2015
Tulisaja
Minggu, 11 Januari 2015
Helm
HELM
Begitu sampai di rumah, Bewok langsung marah sejadi-jadinya.
"Ini ngga lucu. Kamu ini gimana sih? Gara-gara kamu, aku harus berurusan sama tukang becak", omel bewok setelah sebelumnya meneguk habis segelas besar air putih.
Bewok menarik nafas sebentar, lalu melanjutkan, "mestinya kan saat aku menoleh ke kiri di perempatan jalan itu, kamu juga ikut menoleh ke kiri. Kamu malah terus menghadap ke depan. Saat aku kembali menoleh ke depan, lho kok kamu malah menoleh ke kanan. Akhirnya motorku nyeruduk pantat becak. Masih untung ngga kenceng".
"Asli, mending nyeruduk pantat BMW deh dari pada pantat becak. Jangankan kita yang salah. Lah dia yang salah aja galakan dia kok. Apalagi ini, kita yang salah. Apes, gara-gara ulahmu aku harus keluar 300 ribu. Masa cuma pelek ban belakang melengkung saja harus 300 ribu. Dalihnya sekalian buat urut dan uang kaget lah. Tapi mau gimana lagi? Lah wong teman-temannya sesama becak sudah merubung dengan muka mengerikan".
Yang diomeli hanya bisa melongo ternganga di sudut meja.
"Sekarang gimana? 300 ribu itu uang terakhirku. Hari ini mau makan apa coba? Kamu jangan diem saja. Ayo jawab. Mau makan apa?" Tanya Bewok berteriak dengan bola mata yang hampir keluar dari rumahnya dan muka merah matang.
Yang ditanyapun masih diam ternganga di tempat semula.
"Sial. Selalu begitu. Cuma diam yang kamu bisa" hardik Bewok sambil melangkah gontai masuk ke kamarnya, meninggalkan helm tua, yang sudah sangat longgar bila dikenakan, di sudut meja.
Indramayu, 12 Januari 2015
Tulisaja
Begitu sampai di rumah, Bewok langsung marah sejadi-jadinya.
"Ini ngga lucu. Kamu ini gimana sih? Gara-gara kamu, aku harus berurusan sama tukang becak", omel bewok setelah sebelumnya meneguk habis segelas besar air putih.
Bewok menarik nafas sebentar, lalu melanjutkan, "mestinya kan saat aku menoleh ke kiri di perempatan jalan itu, kamu juga ikut menoleh ke kiri. Kamu malah terus menghadap ke depan. Saat aku kembali menoleh ke depan, lho kok kamu malah menoleh ke kanan. Akhirnya motorku nyeruduk pantat becak. Masih untung ngga kenceng".
"Asli, mending nyeruduk pantat BMW deh dari pada pantat becak. Jangankan kita yang salah. Lah dia yang salah aja galakan dia kok. Apalagi ini, kita yang salah. Apes, gara-gara ulahmu aku harus keluar 300 ribu. Masa cuma pelek ban belakang melengkung saja harus 300 ribu. Dalihnya sekalian buat urut dan uang kaget lah. Tapi mau gimana lagi? Lah wong teman-temannya sesama becak sudah merubung dengan muka mengerikan".
Yang diomeli hanya bisa melongo ternganga di sudut meja.
"Sekarang gimana? 300 ribu itu uang terakhirku. Hari ini mau makan apa coba? Kamu jangan diem saja. Ayo jawab. Mau makan apa?" Tanya Bewok berteriak dengan bola mata yang hampir keluar dari rumahnya dan muka merah matang.
Yang ditanyapun masih diam ternganga di tempat semula.
"Sial. Selalu begitu. Cuma diam yang kamu bisa" hardik Bewok sambil melangkah gontai masuk ke kamarnya, meninggalkan helm tua, yang sudah sangat longgar bila dikenakan, di sudut meja.
Indramayu, 12 Januari 2015
Tulisaja
Selasa, 06 Januari 2015
Makan
MAKAN
Selesai memasak mie instan, ibu itu lalu menyuguhkan untuk anak-anaknya yang telah menunggu dengan sabar di atas selembar tikar pandan. Bersama mereka, telah menunggu juga piring-piring berisi nasi putih di hadapan masing-masing anak yang lima orang itu.
Saat masing-masing anak mengambil mie goreng dengan riuhnya, tiba-tiba anak yang paling besar berucap "kata salah satu acara kesehatan di TV, tidak baik makan nasi dengan mie instan".
Sang ibu dengan teduh memandang anak sulungnya lalu berkata "nak, biarlah itu berlaku untuk mereka yang makan untuk menjaga kesehatan. Ada juga orang yang makan untuk kesenangan hidup. Kalau kita ini termasuk orang-orang yang makan untuk bertahan hidup. Jadi untuk sementara makan saja seadanya".
Anak-anak lalu melanjutkan makan malam mereka dengan lahapnya, sementara sang ibu menangis di pojok dapur.
Indramayu, 6 Januari 2014
Tulisaja
Selesai memasak mie instan, ibu itu lalu menyuguhkan untuk anak-anaknya yang telah menunggu dengan sabar di atas selembar tikar pandan. Bersama mereka, telah menunggu juga piring-piring berisi nasi putih di hadapan masing-masing anak yang lima orang itu.
Saat masing-masing anak mengambil mie goreng dengan riuhnya, tiba-tiba anak yang paling besar berucap "kata salah satu acara kesehatan di TV, tidak baik makan nasi dengan mie instan".
Sang ibu dengan teduh memandang anak sulungnya lalu berkata "nak, biarlah itu berlaku untuk mereka yang makan untuk menjaga kesehatan. Ada juga orang yang makan untuk kesenangan hidup. Kalau kita ini termasuk orang-orang yang makan untuk bertahan hidup. Jadi untuk sementara makan saja seadanya".
Anak-anak lalu melanjutkan makan malam mereka dengan lahapnya, sementara sang ibu menangis di pojok dapur.
Indramayu, 6 Januari 2014
Tulisaja
Langganan:
Postingan (Atom)