Entri Populer

Senin, 23 Februari 2015

Melulu Asmara

MELULU ASMARA

Sore itu, seperti sore-sore yang lalu, Bewok mulai merayu

"Dan bukan indahnya liukan daun ditiup angin yang aku rasakan ketika sehelai harus gugur. Tapi betapa pilunya ranting saat harus melepaskan dan berpisah, kekasih".

"Tidak akan pernah beku pucuk-pucuk pinus dalam dekapan kabut sore, kecuali saat harumnya menghilang. Begitulah rasa cinta ini kepadamu, kekasih".

"Tidak juga karena gemericik air dari aliran sungai kecil berbatu yang mampu tentramkan hati ini. Hanya hadirmu mampu sejukkan hati yang meradang ini, kekasih".

"Bahagianya awan bukan saat berarak-arak mencari puncak. Bahagianya awan adalah saat harus terkondensasi menjadi butir air. Walau harus terhempas, saat itulah dia bermakna. Demikianlah pengorbananku untukmu, kekasih".

"Bukan karena merekahnya kelopak-kelopak bunga yang memberikan harapan pada kumbang kecuali tersimpannya madu yang siap dicecap. Cintaku tidak harapkan pamrih seperti itu, kekasih".

"Jangan lagi tentang cahaya yang akan dibagikannya, kepastian akan datangnya purnama sudah sangat membahagiakan bocah-bocah dusun. Seperti itulah rasaku untuk cintamu, kekasih".

"Bahkan lumeran buih capuchino yang melebur membalut lidah tidak juga melambungkan rasa. Aku hanya butuh rekahan senyummu untuk sejuta bahagia, kekasih".

"Kekasih, sebaiknya kita nikmati dulu capuchino ini sebelum aku kembali merayumu".

Lalu Bewok menyeruput buih capuchino sambil memandang 'takzim' kursi kosong dihadapannya.

Indramayu, 23 Pebruari 2015

Tulisaja

Minggu, 15 Februari 2015

Pantas

PANTAS

'Muliakanlah manusia, kau tidak akan pernah menjadi hina karenanya'.

'Hinakanlah manusia, kaupun tidak akan menjadi mulia karenanya'.

'Hidup semestinya saling menghargai, sehingga kehormatan akan senantiasa menaungi setiap senyum'.

"Cah, ini otak lagi kenapa lagi? Pake berlagak nulis-nulis yang kaya gituan".

"Sudahlah, nulis yang kaya gituan sih jatahnya orang-orang bijak, cerdik pandai, para motivator. Lu sih ngga pantes lah nulis-nulis yang kaya gituan. Nulis yang kaya biasa aja. Ngerti apa si lu tentang kemuliaan? Ngerti apa lu tentang kehormatan? Motivasi apa lagi, punya sendiri aja harus lu genjot habis-habisan".

'Tapi bro, boleh dong gua nulis kaya gitu, sekedar buat ngingetin diri sendiri. Toh bukan hal yang salah, bukan hal yang ngga sopan yang gua tulis itu'.

"Kalo cuma buat ngingetin diri sendiri sih, lu telen sendiri aja itu tulisan. Ngga usah lu ceplokin di dinding media umum".

"Bukan hal yang ngga sopan lu bilang? Justru lu jadi sangat ngga sopan karena nulis yang kaya gituan".

'Lho memangnya kenapa?'.

"Karena itu bukan bagian lu untuk nulis yang kaya gitu. Lu udah ngerebut ladang orang lain".

'Begitu ya?'.

"Lha iya lah. Sudahlah, gua bilang lu nulis kaya biasanya aja. Ngga usah sok-sok-an nulis-nulis kata bijak, nasehat-nasehat, motivasi-motivasi. Ngga pantes. Nah ini juga yang bikin tulisan kaya gini buat lu jadi ngga sopan, karena lu ngga pantes".

'Lho, memang ada ukuran kepantasan atau ketidakpantasan dalam menulis?'.

"Lho ya ada bro. Bagaimana lu bisa nulis tentang kemuliaan kalau hidup lu sendiri hina kaya gitu. Bagaimana lu bisa cerita tentang rasa kopi kalo lu sendiri ngga doyan kopi. Lu bisa aja nulis cerita tentang rasa kopi ribuan halaman. Tapi orang yang tau kalo lu ngga doyan kopi, mana mau percaya sama yang lu tulis".

'Ya ngga kaya gitu juga dong logikanya. Orang nulis itu kan bebas, asal sopan, sukur-sukur ada manfaat buat orang'.

Asyik juga memperhatikan dua mahluk dalam diri ini tengah berdiskusi sengit, sementara mata ini mulai mengantuk.

Bagaimana kalau kita tinggalkan saja mereka. Mereka bekelahi pun aku sudah tidak perduli. Sudah sering mereka bertingkah seperti itu. Lebih baik kita cari secangkir kopi untuk menyegarkan mata ngantuk ini.

Jatibarang, 15 Pebruari 2015

Tulisaja

Kamis, 12 Februari 2015

Melupakan

MELUPAKAN

Sore belum juga menenggelamkan matahari ke dalam kotak penyimpanannya, ketika seorang bapak tiba-tiba datang ke hadapanku. Beliau terlihat tengah marah besar tentang sesuatu.

"Ini tidak benar, sungguh ini tidak benar dan sangat mengecewakan" semprotnya ke mukaku.

Aku bingung.

Tapi lanjutnya "apa anda tidak tahu saya siapa? Atau anda lupa?".

Jelas aku tidak tahu, pikirku. Bagaimana aku tahu. Tiba-tiba saja bapak itu muncul di depanku dan marah seperti itu.

"Maaf, bapak siapa?" tanyaku.

"Lihat. Bahkan anda tidak tahu siapa saya" tukasnya.

Aku diam.

"Anda tidak sepatutnya bersikap seperti itu kepada saya. Anda harusnya malu dan segera meminta maaf ke saya".

"Anda bisa seperti sekarang karena siapa? Kalau bukan karena saya, tidak mungkin anda bisa seperti sekarang. Bahkan untuk bisa bertahan hiduppun mungkin anda tidak akan bisa".

"Tapi apa balasan yang anda berikan ke saya? Jangankan untuk membalas jasa, sekedar mengingat saja tidak".

"Saya tidak menuntut balas budi anda ke saya, tapi lupa anda terhadap saya sungguh mengecewakan saya".

Aku masih terdiam dan mulai gemetar.

Bapak itu semakin memerah mukanya.

"Saya tidak minta anda membelikan hadiah buat saya. Saya tidak minta anda hormat terbungkuk-bungkuk di hadapan saya. Saya cuma minta anda untuk tidak melupakan saya".

"Saya tidak peduli kalaupun anda sudah tidak mau menemui saya lagi. Saya tidak peduli kalau anda melupakan apa yang sudah saya lakukan untuk anda. Tapi tolong, jangan lupakan saya karena itu sangat mengecewakan dan menyakitkan".

Melupakan? Aku semakin gemetar.
"Maaf, bapak ini siapa?" tanyaku sekali lagi.

"Anda sungguh keterlaluan. Benar dugaan saya bahwa anda sudah melupakan saya. Perhatikan baik-baik, saya ini Bapakmu".

Dan aku tersungkur.

Indramayu, 13 Pebruari 2015

Tulisaja

Hitam

HITAM

Hitam mengunci simpul putih dalam bijak
Membungkam seraya mengurung senyap
Memaksa bidadari datang merangkak
Berbekal kelopak sayap patah meretak

Kehendak senantiasa menggoda hasrat
Wujudkan petaka di balik lidah gelap
Merona wajah tergaggap
Sembunyikan dusta nista terikat

Hidup sudah menjadi tumpukan kekurangajaran
Menggunung menutupi pandang
Tidak akan cukup cemeti yang mengusap
Bahkan bara tertelan hanya menegur sikap

Cahaya yang akan membasuh gelap
Semburatnya sudah terlihat
Semoga segera di hati terpahat
Goresan-goresan pesan wasiat

Indramayu, 12 Pebruari 2015

Tulisaja