MELULU ASMARA
Sore itu, seperti sore-sore yang lalu, Bewok mulai merayu
"Dan bukan indahnya liukan daun ditiup angin yang aku rasakan ketika sehelai harus gugur. Tapi betapa pilunya ranting saat harus melepaskan dan berpisah, kekasih".
"Tidak akan pernah beku pucuk-pucuk pinus dalam dekapan kabut sore, kecuali saat harumnya menghilang. Begitulah rasa cinta ini kepadamu, kekasih".
"Tidak juga karena gemericik air dari aliran sungai kecil berbatu yang mampu tentramkan hati ini. Hanya hadirmu mampu sejukkan hati yang meradang ini, kekasih".
"Bahagianya awan bukan saat berarak-arak mencari puncak. Bahagianya awan adalah saat harus terkondensasi menjadi butir air. Walau harus terhempas, saat itulah dia bermakna. Demikianlah pengorbananku untukmu, kekasih".
"Bukan karena merekahnya kelopak-kelopak bunga yang memberikan harapan pada kumbang kecuali tersimpannya madu yang siap dicecap. Cintaku tidak harapkan pamrih seperti itu, kekasih".
"Jangan lagi tentang cahaya yang akan dibagikannya, kepastian akan datangnya purnama sudah sangat membahagiakan bocah-bocah dusun. Seperti itulah rasaku untuk cintamu, kekasih".
"Bahkan lumeran buih capuchino yang melebur membalut lidah tidak juga melambungkan rasa. Aku hanya butuh rekahan senyummu untuk sejuta bahagia, kekasih".
"Kekasih, sebaiknya kita nikmati dulu capuchino ini sebelum aku kembali merayumu".
Lalu Bewok menyeruput buih capuchino sambil memandang 'takzim' kursi kosong dihadapannya.
Indramayu, 23 Pebruari 2015
Tulisaja