Entri Populer

Kamis, 30 April 2015

Ingin

INGIN

Sudah cukup lama Bewok merenung. Sejak dia tahu bahwa anaknya punya keinginan untuk membuhuhnya, dia 'shock' setengah mati. Barita itu tidak dia dengar dari orang lain, kabar angin, apa lagi dari wangsit atau mimpi. Berita itu dia dengar dari anaknya sendiri yang menyampaikan keinginannya saat sarapan pagi. Tapi Bewok bingung. Anak bungsunya itu belum mengungkapkan alasan dari maksudnya.

Dalam merenungnya, Bewok berusaha mengorek-ngorek timbunan ingatan, mencari cacat apa kira-kira yang menjadi sebab anaknya punya keinginan gila itu. Setelah lama berkutat dengan bongkahan-bongkahan kejadian, tidak ditemukan satu alasan pun yang bisa menjadi lantaran munculnya niat jahat anaknya itu, baik dari sisi dirinya maupun dari sisi anaknya.

"Aku tidak habis pikir. Jenis setan apa yang sudah membujuk anak itu? Gilanya lagi, dia tidak menyampaikan keinginannya itu dengan emosi, dalam keadaan marah atau kesurupan. Dia menyampaikan keinginanya itu dengan sadar dan santai, justru sangat santai, di sela-sela obrolan sarapan pagi. Ini gila atau konyol?" Batin Bewok sibuk.

Masih jelas percakapan pagi tadi di ingatan Bewok.

"Pah, boleh aku bilang sesuatu?" tanya Siswo, anak bungsunya, di sela-sela obrolan pagi itu.

"Boleh. Apa?" santai, Bewok menimpali.

"Serius ini Pah," kata Siswo, sambil mendadak menghentikan aktifitas sendok dan garpunya di atas piring.
Bewok ikut menghentikan tangannya, lalu, "kalau memang serius dan penting, sebaiknya kita bicarakan nanti malam saja, waktunya akan lebih leluasa".

"Tidak bisa Pah," sambar anaknya, datar.

"Tidak bisa?"

"Iya"

"Tidak bisa menunggu sampai nanti malam?" tanya Bewok lagi.

"Tidak bisa," cepat anaknya menjawab.

"Semendesak itukah?" Bewok mulai serius.

"Sangat mendesak," kata Siswo masih dengan nada datar.

"Harus sekarang?" Bewok mancoba menggoda.

"Ayo lah Pah. Serius ini," sahut Siswo dengan membalurkan sedikit rasa jengkel pada ekspresi wajahnya.

"Ok, ok. Apa itu?" tanya Bewok mencoba serius.

Siswo terdiam sejenak, sekedar memastikan kalau papahnya sudah benar-benar serius dan siap mendengarkan apa yang akan dikatakan. Dua kali Siswo menarik nafas panjang, lalu, "aku ingin membunuh Papah".

"Apa? kamu ingin membunuh Papah? Kamu bercanda kan?" Antara serius dan ingin tertawa, Bewok bertanya.

"Serius Pah".

Bewok terhenyak. Diam beberapa lama. Bahkan pikirannya ikut berhenti. Tidak pernah menyangka anaknya akan punya keinginan yang sungguh menebas habis akal sehat, bahkan akal sakit sekalipun.

"Kenapa?" Bewok bertanya, murung.

"Nah, untuk kenapanya, ini yang akan kita bicarakan nanti malam, Pah" kata Siswo, menyudahi sarapan paginya, berdiri, mencium tangan Papahnya dan pamit berangkat ke sekolah.

Siswo, anak muda tampan yang baru duduk di kelas sebelas pada sebuah SMU ternama di kotanya, adalah seorang siswa yang cerdas. Fasilitas pendidikan nomor satu ditunjang kemampuan orang tuanya yang tanpa batas, menjadikan Siswo tumbuh menjadi murid dengan prestasi akademik di atas rata-rata, bahkan boleh dibilang memiliki prestasi premium. Selain prestasi akademik yang mumpuni, dalam pergaulan sosial, Siswo adalah seorang anak yang mudah bergaul dan banyak teman. Seorang anak yang menyenangkan. Satu-satunya kelemahan yang ada pada Siswo adalah dia terlalu sempurna.

Bewok juga ingat betapa siang itu dia tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Kekacauan nalarnya membuat dia terus menerus resah dan memutuskan untuk pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Obrolan pagi tadi, hingga tersampaikannya keinginan Siswo, sungguh sangat mengganggu pikirannya. Meski pada awalnya Bewok tidak menganggap serius keinginan anaknya, tapi pada akhirnya mampu juga mengerogoti ketentraman harinya. Bahkan memaksa memunculkan rasa cemas luar biasa. Bukan cemas atas dirinya, tapi cemas terhadap anaknya. Keinginan anaknya itu bukan saja aneh, tapi juga gila.

Di tengah merenungnya yang belum juga menemukan apa-apa, tiba-tiba Siswo datang menghampiri. Masih mengenakan seragam sekolahnya. Rupanya dia baru pulang sekolah. Setelah mengucapkan salam, mencium tangan Bewok, lantas masuk ke kamarnya. Datar dan sangat biasa, seperti tidak ada yang penting yang sudah dan bakal terjadi. Dan sore itu merangkak sangat lambat dalam perasaan Bewok. Sore yang menempatkan Bewok pada pasangan-pasangan harapan yang bertolak belakang. Dia berharap malam segera datang, tapi juga berharap malam tidak pernah sampai padanya. Dia berharap segera tahu alasan anaknya, tapi juga berharap tidak pernah mendengar alasan itu.

Waktu makan malam tiba. Waktu yang ditunggu-tunggu, juga yang dibenci datangnya oleh Bewok. Waktu yang membuat sisa hari menjadi gelisah dan pikiran tidak menentu. Sebelum makan, Bewok bertanya, "ok, coba kamu bilang, kenapa sampai bisa punya rencana itu?".

Siswo terdiam sejenak, lalu, "Pah, bagaimana kalau kita bicarakan hal ini nanti, selesai makan?".

"Tidak bisa. Papah ingin tahu sekarang. Sekarang!".

Siswo bangkit dari duduknya, lalu segera masuk ke kamarnya. Tidak lama. Dia keluar dari kamar sambil menenteng sebuah pistol. Saat jarak tersisa dua meter, dia mengacungkan pistolnya, diarahkan tepat ke titik di antara dua mata Bewok.

Bewok bangkit, arah pistol mengikuti kepalanya.

"Siswo, ada apa ini? Ada apa dengan kamu? Kamu sudah gila ya?" Teriak Bewok di tengah kengeriannya.

Dorrr!!! Pistol meledak.

Bewok berdiri kaku, matanya terbelalak. Pandangan matanya mendadak gelap, jantung ikut berhenti berdetak. Satu tangannya meraba dahi dengan mata yang kini terkatup rapat. Tidak dia temukan apa-apa di dahi kecuali keringat membulir. Pelan dia buka mata. Dilihatnya Siswo masih di depannya, dengan pistol berasap di tangan yang terkulai. Dipandangi anaknya itu dengan mata yang tenang.

Tiba-tiba pecah tawa Siswo.

"Ha ha ha ha ha ha, selamat ulang tahun Pah," seraya memeluk Bewok.

Bewok melepaskan pelukan anaknya dengan paksa, memandangnya sebentar lalu menamparnya keras.

Kini Siswo yang terbelalak, mungkin menyesal. Bewok memandang anaknya, yang mematung, cukup lama, lalu tertawa panjang.

"Ha ha ha ha ha ha ha, di mana mamahmu? Cepat panggil mamah! Ayo kita rayakan," kata Bewok lalu mengambil kunci mobil.

Indramayu, 27 April 2015

Tulisaja

Rabu, 22 April 2015

Maesaroh

MAESAROH

Akhirnya Bewok memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Pekerjaan yang sudah belasan tahun dia geluti, sebagai karyawan di sebuah pabrik tekstil yang cukup besar. Besok dia akan ajukan surat pengunduran dirinya ke bagian personalia. Dia memutuskan untuk memulai usahanya sendiri bulan depan.

Kalau selama ini dia bertahan di tempatnya bekerja, belasan tahun, bukan karena kenyamanan bekerja. Bukan juga karena romatisme buluk bernama loyalitas. Dia bertahan karena ketidakberaniannya memulai usaha sendiri. Dia selalu dibayangi rasa takut kalau-kalau usahanya gagal. Dia pangecut tulen. Seorang pengecut yang matanya selalu tersumpal gombal kotor kebangrutan. Seorang pengecut yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memutuskan keluar dari pekerjaannya dan memulai usahanya sendiri. Tentu saja dia tidak mengakui semua itu secara terang-terangan.

Sudah sangat lama dia ingin punya usaha sendiri karena dia tidak ingin mengendap dan mengerak menjadi karyawan, menjadi pesuruh. Dia tidak ingin terlalu lama dibungkus peraturan-peraturan perusahaan. Dia tidak ingin terlalu lama diteror pedang-pedang sanksi perusahaan yang mengancam. Dia tidak ingin menjadi orang yang selalu mencari-cari tanggal merah pada kalender untuk mendapatkan libur. Dia ingin merdeka. Dia ingin menjadi orang yang memegang kendali. Dia ingin menjadi boss.

Walau sudah terlanjur lama menjadi karyawan dan hampir berkarat, menurutnya, seperti kata para motivator, tidak pernah ada kata terlambat. Bewok berpikir bahwa usahanya harus segera dimulai, walau hanya berupa usaha kecil-kecilan. Dia ingat selogan dari seorang pebisnis sukses yang mengatakan, "lebih baik kecil tapi jadi boss dari pada besar tapi jadi jongos". Selogan sedikit kasar yang pernah dia baca pada sebuah biografi bertahun lalu dan masih anteng bergelayut dipikirannya. Dia akan membuka usaha rumah makan.

"Kalau orang lain bisa sukses, masa aku tidak. Ini hanya masalah nyali. Ini masalah tekad dan kemauan. Ini tentang kaliber seseorang," begitu pikirnya

Seorang teman pernah meragukan keputusannya. Sekedar mengorek bulat atau perseginya keputusan yang dia buat, teman itu bertanya, "kawan, apakah keputusanmu itu sudah kau pikirkan masak-masak? Bagaimana kalau usahamu nanti gagal dan bangkrut? Keluargamu akan kau kasih makan apa?".

Tapi Bewok teguh kukuh belapis baja pada keputusannya. Dia menduga pertanyaan temannya itu hanya siasat jahat saja supaya dia tidak meninggalkannya dan tetap bekerja bersamanya. Dugaan busuknya, temannya itu tidak rela kalau suatu saat dia sukses dengan usahanya. Walau kekhawatiran akan kegagalan itu tetap ada, dia berusaha menjadi batu karang.

"Ah, kalau setiap manusia punya teman yang meragukan dan berhasil mempengaruhinya, dunia ini pasti masih berada di jaman batu sampai saat ini. Untung saja Pak Dirman, Bung Tomo, Bung Karno, Bung Hatta, dan para pendiri bangsa lainnya tidak mempunyai teman seperti itu. Mungkin juga ada, tapi tidak bisa mempengaruhinya. Ini tentang prinsip. Kalau saja masing-masing mereka punya satu dan berhasil mempengaruhinya, negara ini tidak akan pernah merdeka," begitu pikirnya, sekedar menguatkan hati.

Satu bulan berlalu. Bermodal uang jasa dari perusahaan, tabungan, dan pinjaman dari bank, Bewok membuka usahanya. Dia kontrak sebuah ruko milik temannya. Sebuah ruko dekat pasar yang cukup ramai, tidak jauh dari tempatnya tinggal. Walau letak ruko itu tidak terlalu strategis, tapi Bewok yakin akan rencananya.

"Usaha rumah makan itu usaha mengelola selera. Kalau selera sudah pas, lidah sudah terjerat, di dalam goa pun akan dicari," pikirnya. Apalagi menu andalan bikinannya sudah banyak yang memuji enak saat dia mengadakan uji pasar secara diam-diam ke para tetangganya.

Bulan pertama cukup sukses. Banyak orang yang hampir setiap hari datang untuk makan di rumah makannya, atau membeli masakannya untuk di bawa pulang. Bulan berikutnya, penjualan kurang menggembirakan. Terlebih setelah harga BBM galau, naik dan turun tidak tentu rumusnya, rumah makan Bewok semakin sepi dan penjualan semakin mengkerut. Masuk bulan ke enam, usaha rumah makan Bewok semakin sesak nafas. Bisnis Bewok sekarat, sementara hutang bank harus tetap dibayar angsurannya dan rumah makan harus tetap buka, apapun yang terjadi.

Bewok berpikir keras. Bagaimana cara supaya rumah makannya bisa ramai pengunjung lagi. Dalam kebuntuan, tiba-tiba seorang temannya dari kampung menelepon. Setelah berbasa-basi.

"Aku mau minta tolong. Kau kan punya rumah makan, aku ingin titipkan anak gadisku supaya bisa bekerja di rumah makanmu. Jadi apa saja lah. Sekedar cuci piring saja sih, dia bisa. Dari pada dia di sini. Paling tidak, dia bisa punya pengalaman di kota," lewat telepon, tamannya menjelaskan.

"Anakmu Munaroh?" Tanya Bewok.

"Bukan. Adiknya, Maesaroh" sahut temannya.

"Kawan, bukan apa-apa. Usahaku saat ini sedang lesu. Aku belum bisa mengambil karyawan. Bahkan karyawan yang sejak awal ikut bersamaku pun aku berhentikan karena aku sudah tidak bisa menggajinya," kata Bewok menjelaskan keberatannya.

"Tolong aku kawan, aku mohon. Anakku ingin sekali bekerja di kota. Biarlah, untuk sementara dia bekerja di warung makanmu," rengek temannya.

Seperti biasa, Bewok menyerah. Bewok KO oleh rasa ibanya. Akhirnya dia setuju untuk menerima permintaan temannya itu dengan catatan, dia tidak bisa memberi gaji yang sesuai. Temannya pun setuju.

Dua hari setelah temannya itu menelepon, datang seorang gadis ke warung makan Bewok. Seorang gadis yang terlihat menarik walau penampilan kampungnya masih sangat kentara. Gadis itu memohon untuk bisa ikut bekerja di warung makannya. Bewok menduga gadis ini Maesaroh, putri temannya dari kampung. Datang membawa satu tas besar penuh pakaian, satu tas tangan berisi perlengkapan pribadi, penampilan dan muka yang kusut karena perjalanan jauh, juga sepasang mata yang indah tapi seperti menyimpan rahasia.

"Kamu Maesaroh ya?" tanya Bewok.

Gadis itu sejenak terdiam lalu menjawab pelan sambil menunduk, "iya".

"Ya sudah, kamu istirahat dulu. Besok saja kamu mulai bekerjanya," lanjut Bewok. Kemudian Bewok menunjukkan kamar untuk gadis itu di lantai atas rukonya. Sebuah kamar yang sudah dia siapkan itu sebelumnya digunakan untuk gudang penyimpanan beberapa barang keperluan rumah makannya.

Perlahan tapi pasti, sejak ada Maesaroh membantu melayani, rumah makan milik Bewok kembali ramai dan bisnis pun mulai bergairah. Di hari-hari pertamanya, memang ada semacam kecanggungan saat melayani pembeli. Tapi itu tidak berlangsung lama. Maesaroh cepat sekali menyesuaikan diri, bahkan terlalu cepat. Paras yang menarik dan keramahtamahan yang menggoda dari Maesaroh membuat pembeli, terutama laki-laki, kembali datang dan makan di rumah makan itu. Tiga bulan sejak ada Maesaroh, rumah makan bewok maju pesat. Pengunjung selalu penuh, terutama pada jam-jam makan siang dan malam. Bewok pun sudah menambah dua orang lagi karyawannya untuk membantu melayani pembeli.

Suatu hari, sambil memandang Maesaroh yang tengah membersikan meja, Bewok jadi ingin menelepon temannya di kampung, Bapaknya Maesaroh. Dia ingin memberi kabar kesuksesannya dan ingin mengucapkan terimakasih. Begitu telepon di seberang diangkat, Bewok langsung membombardir

"Halo kawan, aku Bewok. Iya, ini aku Bewok. Maaf aku baru bisa telpon. Kenapa? Kau tidak bisa telpon aku? Ha ha ha ha, aku ganti nomor. Orang bank itu terlalu rewel. Aku tidak tahan ditagih angsuran terus setiap hari, ha ha ha ha. Aku sungguh tidak menyangka, kawan. Untung saja waktu itu kau meminta aku untuk menerima anakmu membantu di rumah makan. Anakmu, Maesaroh sungguh membawa keberuntungan untukku. Dia benar-benar ajaib. Sejak ada dia, rumah makanku selalu ramai pembeli. Kalau dia punya adik, boleh juga kau titipkan di sini. Biar bisnis rumah makanku semakin besar, ha ha ha ha. Kau punya anak yang hebat kawan".

Seperti tidak ingin memberikan kesempatan, Bewok melanjutkan, "kau tentu ingin tahu kabar Maesaroh. Dia baik-baik saja di sini. Kau tenang saja kawan. Dia sehat-sehat saja. Sekarang ....".

Sambungan telepon terputus.

"Ah, pulsaku habis rupanya," gumam Bewok lirih.

Tidak berapa lama, datang pesan singkat dari temannya itu.

"Aku mohon maaf kawan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Barusan aku ingin telpon balik, tapi aku urungkan. Aku khawatir kau semakin meracau. Lagi pula aku tidak kau beri kesempatan untuk bicara. Kawan, aku minta maaf. Aku minta maaf karena anakku Maesaroh waktu itu tidak jadi berangkat untuk bekerja di rumah makan milikmu. Dia meninggal karena kecelakaan dua hari setelah aku telpon dirimu. Maafkan aku kawan. Kalau boleh aku memberi saran, kau ikhlaskan saja semuanya sebagaimana aku mengikhlaskan anakku, Maesaroh. Jangan terlalu kau pikirkan. Jatuh bangun dalam dunia dagang itu biasa. Lebih mendekatkan diri saja pada Tuhan, supaya kau lebih tenang menghadapi kegagalan ini. Salam buat keluarga".

Bewok berulang-ulang membaca lagi pesan singkat temannya itu, sambil sesekali memandang "Maesaroh" yang sedang melayani pembeli.

Indramayu, 22 April 2015

Tulisaja

Jumat, 17 April 2015

Rindu

RINDU

Bewok sudah tidak perduli lagi pada penampilannya. Beberapa hari tidak mandi, hanya dibalur semprotan parfum murah, membuat tubuhnya berbau alkohol dari parfum. Menyengat seperti botol arak yang baru saja kosong. Baju salinnya yang tidak lagi disetrika, semakin menegaskan kusutnya hidup. Sejak dipecat dari pekerjaannya, perekonomian keluarga langsung amblas. Dalam sekejap, kemiskinan yang sebelumnya pelan memeluknya, menjadi semakin galak mencakar-cakar. Kondisi semakin rumit saat istrinya yang sudah tidak lagi tahan berendam dalam kesengsaraan, meminta untuk diceraikan lalu pergi memboyong kedua anaknya pulang ke kampung orang tuanya. Seperti belum puas atas babak belurnya hidup Bewok, lingkungan tempat tinggalnya juga ikut menyiksa dengan selalu mencurigainya. Semua betotan dan sabetan nasib itu membuat hidupnya melempem seperti sampah basah. Busuk, bau dan loyo. Dia menganggap hidupnya sudah hancur sempurna.

Sejak tidak ada lagi yang melayaninya di rumah, Bewok menjadi pelanggan warung makan. Di warung makan itulah dia menjinakkan rasa laparnya. Seperti hari-hari sebelumnya, sore itu Bewok datang ke warung makan langganannya. Salah satu warung makan remang-remang dengan dinding dari anyaman kulit bambu bermotif. Sebenarnya banyak tempat makan yang bisa dia pilih di sepanjang jalan itu. Tapi selalu warung makan itu yang dia tuju. Diam-diam dia telah jatuh hati pada perempuan pelayan di warung itu. Dia benar-benar terjerat dan gila. Sore itu dia sangat ingin bertemu dan mendekatinya. Tidak bisa ditunda-tunda lagi karena rindunya sudah bengkak.

"Semoga uang yang aku kumpulkan ini, cukup untuk merayunya," harapnya, sambil merogoh saku celana.

Mengambil tempat di meja paling pojok, Bewok belum melihat perempuan pelayan yang biasa melayaninya. Hanya ada perempuan setengah baya yang biasa dipanggil mami dan seorang perempuan pelayan lain. Makan sudah lama selesai dan sore pun sudah terlanjur menjadi malam. Bewok belum juga ingin menghabiskan kopinya karena belum berjumpa dengan perempuan pelayan dambaannya. Dia bertekad untuk menunggu.

Asbak rokok di mejanya pun sudah penuh dengan puntung-puntung tandas. Bewok masih bersabar menunggu, sambil terus menatap asbak berisi puntung-puntung yang semakin menggunung. Cukup lama ketika tiba-tiba masuk ke dalam warung dua orang, laki-laki dan perempuan. Sang perempuan bergelayut manja di pundak laki-lakinya. Awalnya Bewok tidak perduli hingga melintas di sisi telinga suara yang sudah dia kenal sebelumnya. Suara lembut itu memaksa dia mengangkat kepalanya yang mulai terbenam ke dalam asbak.

"Bunga", panggilnya, tertahan dan pelan, lebih seperti memberi tahu kepada diri sendiri siapa yang dilihatnya. Bewok mengurungkan niatnya untuk kembali memanggil setelah mengetahui Bunga, perempuan yang dirindunya, secara telak mengabaikannya. Juga setelah dia mengetahui siapa laki-laki yang digelayuti Bunga. Laki-laki yang membuat semangat, termasuk hasratnya kempes dan meringkuk. Kecewa dalam diam. Lalu dia kembali memendam kepalanya di dalam asbak, lebih dalam, terbakar bersama puntung-puntung dan abu.

Kedua orang itu terus berjalan ke bagian belakang warung dan tidak keluar lagi.

Malam dan cemburu mencapai puncaknya. Bewok memutuskan untuk meninggalkan warung itu. Dia yakin, Bunga tidak akan keluar lagi. Tidak akan pernah keluar lagi. Suasana jalan di depan warung sudah sepi dan pulas karena saat itu bukan akhir pekan. Perempuan setengah baya penjaga warung pun terlihat sengit berjuang mempertahankan melek matanya, sambil duduk selonjor di atas balai kayu, bersandar pada dinding dekat etalase masakan.

Setelah menyadarkan perempuan itu, Bewok membayar makan dan kopinya. Pelan, dia mendengar perempuan itu bicara pada diri sendiri, sejenak setelah melihat mobil tamu yang diparkir di depan warung, "ah, sepertinya Pak Kades akan bermalam lagi malam ini".

Bewok menghampiri sepeda motor belelnya yang terparkir di samping mobil sedan mewah. Menghidupkan mesinnya lalu pergi.

"Mobil yang bagus," gumamnya, sambil berlalu. Bewok pergi dengan membawa bara api di kepalanya.

Menjelang subuh, warung itu terbakar hebat. Api tiba-tiba muncul dengan cepat dan segera menjalar ke seluruh ruangan, menelan segalanya. Juga ke beberapa warung di kiri dan kanannya. Dengan cepat kebakaran itu menghabiskan dan meratakan semua bagian warung. Semuanya. Termasuk membakar mobil sedan mewah yang tengah parkir di depannya.

Petang itu Bewok melihat berita terbakarnya warung makan langganannya dari televisi sambil menikmati kopi, di sebuah warung makan di kota yang cukup jauh dari rumahnya.

Indramayu, 18 April 2015

Tulisaja

Kamis, 16 April 2015

Tetes

TETES

Bersama embun yang terlepas
Keringatku pun menetes

Tes

Hanya sekali

Indramayu, 17 April 2015

Tulisaja

Puisi (Lagi-lagi) Tentang Cinta

PUISI (LAGI-LAGI) TENTANG CINTA

Janganlah kau mengagungkan cinta
Karena kau akan susah payah menjaganya
Saat kau terlalu lelah menggenggamnya
Kau akan terhempas remuk meratapinya

Jangan juga kau paksakan cinta
Karena pasti kau tengah membohonginya
Saat kau harus jujur tentangnya
Sayatan akan tertoreh sebarkan nestapa

Jangan sekali-kali kau permainkan cinta
Karena kau akan terjebak pada ribuan dusta
Saat kau harus membuka semua
Jangan lagi berharap ada bahagia

Cinta sepanjang masa
Hanya rayuan gombal belaka
Kalau ada yang bisa merawat cinta
Karena cinta miliknya apa adanya

Perlakukan cinta sebagai cinta
Suguhkan saja sewajarnya
Walau dia menebarkan aroma sejuta rasa
Tidak perlu menjadi gila

Ah, kau kini malah punya sangka
Bahwa aku tengah jatuh cinta
Kalau sangkaku pada sangkamu nyata
Maka harus kau baca semua yang aku tulis tentang cinta

Indramayu, 17 April 2015

Tulisaja

Rabu, 15 April 2015

Elang

ELANG

Aku selalu iri pada elang. Bukan pada penampilannya yang gagah. Bukan pada keanggunannya saat terbang melayang. Bukan pula pada tatapan matanya yang tajam.

Aku selalu iri pada elang. Aku iri pada caranya menikmati kesendirian. Aku iri pada keikhlasannya dalam sepi. Aku iri pada kekhusu'annya mengukir senyap.

Aku selalu iri pada elang. Aku iri pada pencapaian kesempurnaannya menggumuli diri.

Indramayu, 13 April 2015

Tulisaja

Sabar

SABAR

Diam itu adalah dinding kesabaran

Terusiknya hati adalah titik kecil di dinding kesabaran

Pengungkapan adalah retakan awal pada dinding kesabaran

Dan penentangan adalah
kehancuran dinding kesabaran

Dan itulah kehancuran manusia yang sesungguhnya

Indramayu, 27 Oktober 2013

Tulisaja

Demam

DEMAM

Terbujur lemah
Menikmati demam yang makin menggila
Ditemani seonggok tubuh menggigil
Aku coba membunuh rasa

Membawa bayang bayang aneh di kelopak mata
Kadang membesar kadang mengecil
Memanjang dan memendek
Meredup dan mendadak benderang

Hitam merah kuning putih berbaur tidak teratur
Mengacaukan isi kepala yang semakin bergolak
Meniadakan kemampuan nalar bergerak

Memaksa untuk pejamkan mata
Di bawah bayang rasa takut
Tidak akan pernah bisa lagi terbuka
Di batas antara ada dan tidak
Ternyata hanya bayang bayang brutal yang tersisa

Tidak aku lihat sang penjemput itu ada
Tuhan, jangan utus dia sekarang
Aku belum siap untuk pulang

Indramayu, Desember 2013

Tulisaja

Kepala

KEPALA

Kenapa pagi tadi
aku kenakan kepala yang satu ini?
kepala yang begitu banyak beban di dalamnya
dengan kondisi kurang fit pula
yang terasa berat
tapi tetap harus dibawa

kenapa pagi tadi tidak aku ambil kepala yang lain?
walau sama punya beban
setidaknya tidak terlalu memberatkan
yang masih bisa kasih senyum untuk dunia

Kenapa tidak aku lepas saja kepala ini?
kalau hanya rasa sakit yang tersisa

Ingin rasanya aku lepaskan dia sejenak
sekedar memberi waktu
untuk meredakan rasa
sekedar membiarkannya mengosongkan logika

Jatibarang, Desember 2013

Tulisaja

Kuaci

KUACI

Kasih
Mungkin inilah cara terbaik kita menutup hari
Biarkanlah hanya jari dan mulut kita yang menari mencari
Habiskan sisa waktu di sepenggal hari
Mosongkan sejenak beban dan gundah hati
Berganti angan siapkan hari hari nanti

Kasih
Mungkin inilah cara terbaik kita menutup hari
Nikmati sepi bersama sebungkus kuaci

Jatibarang, 23 Januari 2014

Tulisaja

Selasa, 14 April 2015

Pecundang

PECUNDANG

Pulang kerja sore tadi, aku melihat banyak anak punk di sepanjang jalan Jatibarang - Indramayu. Akan ada konser Iwan Fals malam nanti.

Rata rata mereka ada di usia ABG. Celana pensil hitam, t'shirt hitam sudah jadi dresscode paten mereka. Ditambah accesoris pearching dihidung, telinga dan sebagian bertato plus penampilan kumuh terkesan 'mandi kalo turun hujan' membuat logika ini sedikit sinis bergumam "mo jadi apa lo pada ntar kalo dah gede?"

Tiba tiba mata ini tertarik pada tulisan di t'shirt salah seorang anak. Tulisan warna kuning di atas t'shirt hitam dengan huruf kapital jelas terbaca "MUSUH UTAMAKU ADALAH PECUNDANG", membuat aku berpikir ulang tentang arti kata "pecundang".

Indramayu, Desember 2013

Tulisaja

Satu Kata

SATU KATA

"Ini saya harus sampaikan di sini. Di forum ini. Karenanya semua teman-teman saya undang untuk berkumpul. Maksud saya mengundang teman-teman semua di sini sebenarnya hanya satu alasan. Saya mau minta ijin ke teman-teman semua. Tolong ijinkan saya mengucapkan sesuatu di hadapan teman-teman. Sebenernya sudah sejak beberapa waktu lalu saya ingin mengucapkannya. Sebenarnya saya bisa mengucapkannya di mana saja, tanpa harus ada forum seperti ini. Tapi kok ya kalau dirasa-rasa, seperti kurang enak kalau saya mengucapkan ini tidak di depan teman-teman semua. Kurang afdol rasanya".

"Yang ingin saya ucapkan ini sudah sangat menggumpal dan padat di kepala saya. Minta segera dikeluarkan. Tapi, ya itu tadi, saya menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkannya. Walau dengan sangat terpaksa, saya harus menahan dengan susah payah, supaya kata ini tidak terlanjur tumpah. Nah, berhubung teman-teman semua sudah berkumpul di sini, perkenankan saya untuk mengucapkannya, sekedar untuk melonggarkan isi kepala dan dada saya. Apa ada yang keberatan kalo saya mengucapkannya saat ini? Semoga tidak ada yang keberatan. Karena kalau kata ini batal untuk diucapkan, akan sangat menyiksa saya di sepanjang sisa umur saya. Kepala yang terlanjur padat ini akan membatu dan rongga dada yang sudah sesak ini akan membusuk. Jadi, sepertinya tidak ada pilihan lain buat teman-teman semua selain mengijinkan saya mengucapkannya sekarang. Ini seperti perlunya pelepasan saat orang sudah sangat kebelet ke belakang, atau seperti ibu hamil saat anak dalam kandungannya sudah minta untuk keluar. Untuk itu, tolonglah. Ijinkan saya mengucapkannya, satu kali saja. Saya tidak akan menyita waktu teman-teman terlalu lama. Karena saya hanya perlu mengucapkan satu kali saja. Cuma satu kali. Saya tidak akan minta tambah jadi dua atau tiga kali. Satu kali, cukup. Bagaimana teman-teman, apakah teman-teman sepakat bulat mengijinkan saya mengucapkannya sekarang?".

Semua hanya diam, menundukkan wajah.

"Baiklah, kalau memang sudah sepakat untuk mengijinkan, saya akan ucapkan. Tapi sebentar teman-teman. Saya harap teman-teman tidak ada yang tersinggung atau marah setelah saya mengucapkannya. Apalagi ada yang menaruh rasa dendam di hati. Saya harap teman-teman bisa memaklumi ini. Karena saya yakin, seyakin-yakinnya, ini akan sangat meringankan isi kepala saya dan akan melapangkan rongga dada saya. Dan lagi pula, teman-teman tidak bisa tersinggung atau marah, apalagi dendam. Karena saya mengucapkan itu atas ijin teman-teman semua. Tapi, kalaupun ada dari teman-teman yang tersinggung, marah atau dendam sekalipun, sejujurnya saya tidak perduli. Jadi, sudah tidak ada alasan kan?” Panjang, mantan calon anggota legislatif yang gagal itu bicara di depan para pendukung, juga mantan pendukung dan team suksesnya, tanpa ada yang berani menyela ataupun interupsi.

Dan dia melanjutkan, "baiklah teman-teman, saya hanya ingin mengucapkan kata ini satu kali di depan teman-teman semua".

Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Lalu dia berteriak keras dan panjang seperti lolongan. Sampai-sampai nadi di lehernya menggembung, mata melotot dan tubuh serta kepala bergetar hebat, "annjeeeeeeeeeeng”.

Dan orang itu pun menggelepar, lalu pingsan.

Tiga bulan berlalu. Di halaman sebuah Rumah Sakit Jiwa, terlihat seorang pasien tengah berpidato, berapi-api.

"Ini saya harus sampaikan di sini. Di forum ini...".

Jatibarang, 9 Januari 2014

Tulisaja

Rabu, 08 April 2015

Takdir

TAKDIR

Bahkan aku sudah tidak ingin lagi untuk bermimpi. Ribuan petuah motivasi dari mereka, biarlah untukmu saja. Ya, untukmu saja semua. Tidak akan aku sisakan satupun untukku.

Biarkan kini aku memeluk takdirku. Sesuka dia ingin membawa aku. Mengombang-ambingkan aku. Melambungkan dan menghempaskan. Aku ikuti saja iramanya, alirannya. Tidak akan lama, aku yakin itu. Jika aku lawan alirannya pun, tetap akan membawaku ke muara yang sama.

Aku mulai hafal tabiat takdir. Semakin ditentang, semakin sengit dia menerjang. Semakin dilawan, semakin brutal dia mempermainkan. Saat dipasrahkan, malah lembut dia membelai. Semakin dipasrahkan, semakin sejuk dia memanjakan.

Aku mulai hafal tabiatnya. Sayangnya, aku sering kehilangan kesabaran meladeninya.

Jatibarang, 8 April 2015

Tulisaja

Senin, 06 April 2015

Nasi Uduk

NASI UDUK

Nasi uduk berkawan karib dengan bawang goreng dan emping. Dari dulu begitu, ga pernah berubah. Ada kawan-kawan lain yang mengisi kehidupan mereka, tapi silih berganti, ga ada yang pasti. Yang rada setia menemani paling ayam goreng dan itupun ga pernah jelas bagian apa, kadang paha atas, paha bawah, sering juga sayap.

Suatu hari bawang goreng sakit. Dia ga bisa berkumpul seperti biasanya. Lantas saja terasa hambarlah hari-hari yang dirasa oleh nasi uduk maupun emping. Hari berlalu begitu saja tanpa ada keriangan. Nasi uduk melaluinya dengan wajah murung. Sementara emping melewatinya dengan cemberut dan melempem. Ketidakhadiran yang memuramkan hari.

Wahai, begitu indahnya persahabatan. Disaat ada satu ketidakhadiran, akan menghambarkan semua rasa. Nasi uduk, bawang goreng dan emping, selalu begitu dari dulu dan ga pernah berubah.

"Mas bawang gorengnya mana, kok nasi uduk saya belum dikasih bawang goreng?" tanyaku ke mas pedagang nasi uduk pinggir jalan itu.

"Sakit" jawabnya singkat.

Dan aku melongo takjub.

Indramayu, 3 Pebruari 2014

Tulisaja

Minggu, 05 April 2015

Kemah

KEMAH

Harum daun jati masih melekat pada lembar-lembar sinar matahari pagi. Ini pagi ke tiga aku berada di kemah ini. Memang bukan sebuah kemah yang sempurna, tapi ini kesendirianku yang utuh.

Satu keluarga ketilang riang membangun hari, membuat aku iri. Sang induk menyulam sarang pada beberapa sisinya yang rusak. Sementara dua anaknya menciap-ciap. Ciapan dengan mulut terbuka lebar dan urat leher menegang kencang, lapar.

Aku baru saja mencoba menyalakan satu blok parafin pada tungku tumpukan batu."Secangkir kopi akan membuat pagi ini sempurna," pikirku.

Menunggu air mendidih, aku ambil buku catatan dan ballpoint. Belum banyak yang aku tulis ketika aku dengar air mendidih dari panci. Aku tuangkan air pada cangkir kaleng untuk meleburkan kopi sachetan. Seketika harum kopi bergumul bersaing, mematikan harum daun jati.

"Ah, kemana perginya harum daun jati?" Tanyaku, dalam hati. Akupun merasa kehilangan.

Sedikit terbersit rasa menyesal. Harum kopi hanya bisa sedikit menghiburku atas kerinduan. Kerinduan akan suasana yang sudah aku robek sendiri untuk menuruti keinginan. Aku tidak menyangka, harum kopi justru merusak suasana pagi ini.

Semoga aku bisa dapatkan suasana bersama harum daun jati itu besok pagi, di hari terakhirku.

Sekedar menenangkan hati, aku baca kembali catatan tadi.

"Harum daun jati masih melekat pada lembar-lembar sinar matahari pagi. Ini pagi ke tiga aku berada di kemah ini. Memang bukan sebuah kamah yang sempurna, tapi ini kesendirianku yang utuh ..."

Indramayu, 5 April 2015

Tulisaja

Sabtu, 04 April 2015

Cukil

CUKIL

Menertawai kenyataan bahwa aku belum juga bisa memahami kenyataan. Itulah yang aku lakukan saat ini. Saat yang terjadi justru menyimpang dari yang diharapkan. Aku kadang berpikir, "Tuhan juga maha bercanda."

Pikiran konyol ini kadang membuat aku merasa lancang dan berdosa. Tapi sering juga malah membuat aku merasa tenang karena meyakini Tuhan masih dekat denganku walau aku kerap lupa dan menjauh.

KehendakNya unik bagiku. KehendakNya dalam kehendak yang sudah selesai ditulisNya, tidak terduga dan seringkali mengejutkan. Hal baik atau hal buruk yang terjadi, selalu membuat torehan pada permukaan perasaan. Dangkal atau dalam, tebal atau tipis, halus atau kasar, membentuk rupanya sendiri, khusus untuk aku.

Aku seperti tengah memperhatikan satu karya seni cukil, di permukaan pemahamanku, yang belum bisa aku mengerti.

Jatibarang, 4 April 2015

Tulisaja

Kamis, 02 April 2015

Cinta Semestinya Jernih

CINTA SEMESTINYA JERNIH

Kalau cinta perlu pengorbanan, berarti ada yang salah. Cinta semestinya berjalan apa adanya, jernih, murni dan ringan. Tanpa ada yang berkorban, tanpa ada yang dikorbankan, karena cinta sesungguhnya tidak pernah menuntut.

Saat kita merasa perlu berkorban untuk cinta, sesungguhnya kita tidak sedang mencintai, tapi kita sedang jual beli.

Jatibarang, 2 April 2015

Tulisaja