BELIKAN BAPAK DAN IBU SURGA
Nak
Kalau kau sudah besar nanti
Saat segalanya bisa kau beli
Tolong belikan bapak dan ibu surga
Tidak usah yang mewah
Seperti yang digambarkan pada ayat-ayat
Buat kami, cukup yang emperan saja
Kelas kambing juga tidak mengapa
Asalkan cukup untuk kami merebahkan diri
Nak
Kalau kau besar nanti
Saat semua tempat di muka bumi bisa kau kunjungi
Tolong carikan bapak dan ibu surga
Oleh-olehkan satu untuk kami
Tidak usahlah yang kilau-kemilau yang kau bawa
Satu yang kusam asal kau ikhlaskan
Sudah sangat membahagiakan rasa
Nak
Kenapa bapak pesankan ini padamu?
Sungguh bapak dan ibu tidak akan sanggup membelinya sendiri
Di sisa umur kami kini
Berapa banyak tabungan yang bisa dikumpulkan?
Manalah cukup semua itu untuk membayarnya?
Nak
Tolong belikan bapak dan ibu surga
Indramayu, 27 Maret 2015
Tulisaja
Blog ini dengan sadar dibuat untuk menampung muntahan isi kepala yang seringkali lumer dan meleleh berupa tulisan yang kadang jelas kadang samar, kadang cerah kadang suram, kadang riang kadang murung. Semoga masih bisa dinikmati. Tino
Entri Populer
-
DI DUNIA Prosesnya adalah : 1. Lahir 2. Balita 3. Anak-anak 4. Remaja 5. Dewasa 6. Tua 7. Mati Catatan : Mati ...
-
PONDOK GEDE Bangunan inilah yang menjadi asal-usul nama daerah Pondok Gede. Sebuah kecamatan di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi Barat. ...
-
KUACI Kasih Mungkin inilah cara terbaik kita menutup hari Biarkanlah hanya jari dan mulut kita yang menari mencari Habiskan sisa ...
-
NASI UDUK Nasi uduk berkawan karib dengan bawang goreng dan emping. Dari dulu begitu, ga pernah berubah. Ada kawan-kawan lain yang mengisi ...
-
KEROCO Namaku Keroco. Ini bukan nama samaran atau julukan, apalagi nama penaku. Sungguh ini nama asli pemberian orang tuaku yang tercantum ...
-
REALISTIS Sore ini Bewok pulang dengan membawa sebungkus amarah pada mukanya yang membara. Dia marah setengah gila usai mendengarkan sosial...
-
Gapura Pondok Gede Gapura ini adalah mulut jalan menuju bangunan besar itu, Pondok Gede. Jalannya menanjak berbatu. Di sisi kanan jalan, ad...
-
RELATIF Aku kaya juga miskin Aku pintar juga bodoh Aku baik juga buruk Aku bagus juga jelek Aku benar juga salah Aku ini juga itu Aku...
-
MAESAROH Akhirnya Bewok memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Pekerjaan yang sudah belasan tahun dia geluti, sebagai karyawan di sebua...
-
RUBIK Masih ingat dengan permainan ini? Mudah-mudahan masih ingat. Saat duduk di bangku SD, saya mencoba permainan ini, tidak pernah bisa,...
Jumat, 27 Maret 2015
Belikan Bapak dan Ibu Surga
Rabu, 25 Maret 2015
Pagi
PAGI
Pagi ini aku ditemani semesta
Awan-awan di Timur
Mulai merah terbakar
Layaknya bara di bawah tungku-tungku pedagang serabi
Pagi ini aku ditemani semesta
Matahari mulai naik
Sebarkan rupa warna-warna
Bersama harum nasi uduk dari warung di seberang kali
Pagi ini aku ditemani semesta
Dengan kesejukan yang khas
Dari kali kotor yang hanyutkan segala
Dan manusia mulai sibuk bergerak
Pagi ini aku temani semesta
Menikmati beberapa serabi dengan mata hampir buta
Berbumbu asap tungku menyala
Nikmat? Itu tidak usah kau tanya
Jatibarang, 26 Maret 2015
Tulisaja
Selasa, 24 Maret 2015
Diamku
DIAMKU
Jangan pernah berkata apapun tentang diam
Karena apalah yang kau fahami tentangnya
Bahkan aku
Yang memilikinya
Jangan pernah menduga sesuatu tentang diam
Dugaanmu tidak akan mampu menyentuh kebenaran
Tak kecuali aku
Hanya bisa merenung, memikirkan
Sudahi saja khayalmu tentang diam
Senyapnya terlalu dalam untuk diselami
Kadang dia menatap
Aku tidak sanggup mengambil arti
Biarkan saja diam itu diam
Sama-sama kita tergantung dalam sepi
Indramayu, 24 Marer 2015
Tulisaja
Senin, 23 Maret 2015
Rasa Mati
RASA MATI
Tiba-tiba Bewok ingin bunuh diri. Bukan, ini bukan untuk menghindari hidup dengan segala masalahnya. Bukan karena rasa kecewa atau patah hati. Ini hanya semata-mata dia ingin merasakan seperti apa rasanya mati.
Sebenarnya keinginan ini adalah keinginan yang sudah lama dia lupakan. Tapi, akhir-akhir ini muncul kembali, terlebih saat senggang, saat banyak waktu untuk merenung.
Tapi dia bingung. Dia belum juga menemukan cara yang tepat karena ini bukan bunuh diri untuk mati, tapi untuk merasakan mati. Harus sealami mungkin. Sebisa mungkin tanpa alat, tanpa racun dan yang terpenting tanpa kemungkinan gagal. Sengaja tapi tidak sengaja.
Berhari-hari dia berpikir untuk menemukan cara itu. Seminggu, belum juga dia temukan. Sampai satu saat dia membaca tulisan besar dari poster sebuah lembaga amal "tidak perlu sakit untuk merasakan sakit".
Dia baca berulang-ulang tulisan itu.
"Bagaimana kalau aku ganti, tidak perlu mati untuk merasakan mati?" pikirnya, dalam hati. Akhirnya dia pun merefisi niatnya.
Hari itu juga Bewok lapor ke Pak RT, bahwa dirinya, Bewok, baru saja meninggal dunia. Pak RT bingung dan menganggap Bewok tengah bercanda.
"Serius Pak, Bewok baru saja meninggal dunia," katanya, untuk meyakinkan Pak RT.
Pak RT mempersilakan Bewok untuk masuk ke rumahnya. Setelah mereka berdua duduk di ruang tamu, Pak RT berkata, "coba jelaskan, ada apa sebenarnya Pak Bewok?".
"Bewok meninggal dunia Pak RT, sekitar sehabis subuh tadi," sahut Bewok, kembali menjelaskan laporannya.
"Kalau Pak Bewok meninggal dunia, lalu bapak ini siapa?" tanya Pak RT, sambil tersenyum karena masih menganggap Pak Bewok bercanda.
"Lhoo, saya Bewok Pak. Masa bapak tidak kenal saya, warga bapak sendiri."
"Pak Bewok, tolong jangan bercanda. Saya sebentar lagi akan berangkat ke luar kota. Saya mau bersiap-siap." Pak RT mulai jengkel.
"Saya tidak main-main Pak RT. Saya serius melaporkan bahwa Bewok pagi tadi meninggal dunia," timpal Bewok, yang juga mulai kesal.
Melihat Bewok sangat serius dan mulai kesal, ditambah harus segera berkemas, akhirnya Pak RT menyerah.
"Mungkin orang ini mulai gila," pikir Pak RT.
Lalu, "baiklah Pak Bewok, laporannya saya terima. Kira-kira jam berapa akan dimakamkan?".
"Siang ini Pak RT, bada juhur," sergap Bewok, merasa lega.
Bewok sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan prosesi pemakaman dirinya. Para tetangga sudah berdatangan ke rumahnya. Walau dengan wajah terheran-heran, mereka tetap datang dan memberikan ucapan belasungkawa kepada Bewok.
Di ruang tamu rumahnya sudah terbujur sejazah yang sudah terbungkus rapih kain kafan, dikelilingi para kerabat dan tetangga, yang sebagian terlihat bingung dan sesekali berbisik ke orang di sebelahnya.
Dua buah nisan dari papan kayu juga sudah disiapkan, bersandar di tembok teras rumah. Salah satunya bertuliskan nama lahir Bewok, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal meninggalnya. Di tempat pemakaman pun sudah disiapkan satu lubang kubur untuknya.
Melihat keramaian di rumah Bewok saat melintas untuk berangkat ke luar kota, Pak RT yang semula menganggap laporan Bewok hanya bercanda, juga menyempatkan mampir dan mengucapkan belasungkawa.
Prosesi pemakaman akhirnya berjalan lancar hari itu. Setelah lubang di tutup dan nisan di tancapkan, berikut doa-doa dipanjatkan, para pengantar pun pulang. Tinggallah Bewok berdiri sendiri di sisi makam, menangis.
"Aku tidak ingin mati," bisiknya.
Pulang dari pemakaman dengan sepeda motornya, pikiran Bewok terus diganggu bayangan kematian. Sampai pada satu persimpangan jalan, dia terus saja menyebrang. Bewok tidak menyadari ada bus luar kota yang melaju kencang dari arah kanan.
Tabrakan tidak terelakkan dan seketika itu Bewok berhasil merasakan mati.
Indramayu, 24 Maret 2015
Tulisaja
Minggu, 22 Maret 2015
Protes
PROTES
Sore itu Bewok tengah protes dan marah pada hatinya sendiri. Bagi dia, hatinya itu sudah terlalu gaduh dan mengganggu. Percakapan hatinya dengan hatinya yang terus berdengung di rongga kepalanya, sudah seperti suara seekor lebah yang ingin keluar dari ruangan, tapi terjebak di kaca jendela.
Memang suaranya tidak memekakkan telinga. Tapi kesibukannya bicara yang terus menerus, membuatnya jengkel dan lelah. Istirahat malamnya terganggu. Bewok harus terbaring lama menatap langit-langit kamar dengan mata mengantuk, tapi tidak bisa segera terlelap.
Sudah beberapa kali dia protes, tapi sepertinya tidak diindahkannya. Walau terkadang dia ikut menikmati apa yang dibincangkan hatinya, tapi kali ini gaduhnya sudah membuat jengkel dan marah.
Anehnya, yang dibincangkan hatinya tidak pernah habis. Selalu ada bahan untuk didiskusikan, dikomentari, bahkan sekedar untuk diumpat atau dimaki. Bewok juga curiga, hatinya sering membicarakannya.
Bewok sungguh sudah tidak tahan. Gaduhnya sudah tidak lagi tahu waktu. Setiap saat, terus menerus. Ingin rasanya dia tinggalkan saja hatinya itu. Pergi jauh dan berharap tidak lagi bisa bertemu. Kemudian, yang membuatnya kaget adalah ketika hatinya itu tidak bisa menerima protesnya.
"Maaf, selama ini aku justru hanya mendengarkanmu," kata hatinya menjawab protes dan marahnya.
Indramayu, 23 Maret 2015
Tulisaja
Jumat, 20 Maret 2015
Gerhana
GERHANA
Aku masih bimbang. Sampai saat ini aku tidak tahu, apakah aku matahari, bumi, atau bulan.
Aku sudah mencoba untuk mencari jawaban. Aku cari di bumi, menjadikan aku seolah-olah adalah bumi. Aku amati detilnya di bulan, sepertinya aku meyakini, aku adalah bulan. Aku berpindah ke matahari, dan aku terbakar.
Bulankah aku? Atau aku adalah bumi? Belum juga bisa aku yakini. Pernah juga hal ini aku tanyakan pada tetesan embun. Karena aku tahu dia selalu menemani pagi. Disuruhnya aku menunggu sampai siang mulai mengembang.
Ah, aku sudah tidak ingin menunggu lagi. Aku sudah terlalu lama mencari. Tapi apa boleh buat. Tidak diberikannya pilihan lain untukku. Aku turuti. Aku tunggu siang datang. Siang hampir berlalu tanpa terjadi sesuatu. "Embun itu menipuku," pikirku.
Malam datang membunuh siang dengan jubah senjanya. Sementara aku masih di titikku, berharap malam segera bosan melihatku lalu pergi. Aku akan tetap di titikku, menunggu embun yang sudah menipuku.
Menunggu, selalu membuat waktu menjadi lambat beranjak. Tapi terlanjur bagiku untuk pergi dan meninggalkan seonggok waktu yang sudah aku kumpulkan. Karena hari sebentar lagi pagi.
Pagi datang dan diam-diam segera aku sergap tetesan embun. Aku tanya, kenapa dia sudah menipuku.
"Menipu?". Embun itu balik bertanya kepadaku.
"Ya, kau telah menipuku. Kau bilang aku akan temukan jawaban segera setelah siang mengembang," bisikku, tepat di sisi telinganya pelan, khawatir pagi akan terganggu.
"Lalu apa yang kau alami siang kemarin?" tanyanya kemudian.
"Aku tidak mengalami apa-apa kecuali tubuhku mematung menunggu," jawabku.
"Itulah, kenapa kau tidak mengalami apa-apa kemarin. Karena kau bukan bumi, bukan pula bulan, apalagi matahari. Kau tidak akan mengalami apa-apa karena kau adalah pengalaman itu sendiri. Kau adalah gerhana".
Indramayu, 20 Maret 2015
Tulisaja
Rabu, 18 Maret 2015
Sejati
SEJATI
Adakah yang bisa mencintai tanpa berharap dicintai? Bahkan sekedar berharap yang dicintai mengetahui.
Kalau kau bilang, "cinta tidak harus memiliki," justru setelah kau tahu dengan pasti dia tidak mencintaimu, aku pikir itu hanya kalimat pelipur lara hati.
Sungguh, akan menyiksa mencintai dalam senyap kalau kau tidak memahami. Tapi yakinlah, itulah cinta sesungguhnya. Karena kesejatian ada saat hanya kau dan Dia yang tahu.
Indramayu, 18 Maret 2015
Tulisaja
Selasa, 17 Maret 2015
Begal
BEGAL
Padahal sebelum berangkat tadi, aku sudah berdoa. "Ya Tuhan semoga aku tidak bertemu dengan begal, aamiin".
Ternyata, di perjalanan aku dibegal. Daripada mendapat celaka karena bersikukuh mempertahankan, akhirnya aku serahkan.
Aku serahkan sepeda motorku, dia menggelengkan kepala. Aku serahkan dompet dengan isi tidak seberapa, dia juga menggeleng.
Aku bingung.
"Ini benar begal, atau canda iseng teman-teman," pikirku menduga-duga.
Aku amati wajah bertopeng hitam itu. Dia balas memandang mataku tajam.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
Dia menunjuk tepat ke dadaku.
"Apa?" tanyaku, semakin bingung.
Sekali lagi dia menunjuk ke dadaku.
"Tidak mungkin jaket lusuhku yang dia pinta" kembali pikiranku menduga, bersama beberapa rasa khawatir yang berkecamuk meraba-raba.
"Apa?" tanyaku, sekali lagi.
"Hati", jawabnya singkat.
"Hati?" tanyaku memastikan.
"Ya, hatimu" jawabnya lagi.
"Tidak bisa, hati ini ada yang punya" sergahku sambil mundur selangkah.
Sigap dia menghunus pisau belatinya dengan tangan kiri dan siap menusukku sementara tangan kanannya masih tetap memegang parang yang menatapku garang di atas kepalanya.
Aku mundur selangkah lagi, merasa ngeri.
"Baik ... baik ... baik, a .. akan aku serahkan, tet ... tet.. tapi separuh saja" kataku tergagap.
"Semua!" sergahnya.
"Jangan lah" pintaku.
"Kalau semua, nanti tidak ada sisa yang bisa aku bawa pulang. Lalu apa yang harus aku suguhkan untuk nanti malam?".
"Aku ..."
Belum selesai aku berkata-kata lagi, tiba-tiba, jleb.
Suara belati yang menembus dadaku lurus menusuk hatiku, mengantarkan aku tersungkur.
Setelah mengorek isi dada dan mengambil seluruh hatiku, begal itu pergi tanpa terburu-buru.
"Begal bodoh. Kau bisa membawa seluruh hatiku, tapi tidak dengan cintaku", batinku berkata seraya bangkit kembali berdiri dengan dada berlubang.
Indramayu, 17 Maret 2015
Tulisaja
Sabtu, 14 Maret 2015
Debu
DEBU
Kalaupun semua ini harus hancur
Biarlah aku yang menjadi debu
Agar hanya ada aroma khasku tanpa wujud
Dan angin bisa bebas membawaku
Percuma saja kalau aku hanya menyerpih
Pastinya akan tetap ada aku di situ
Bersama setumpuk rasa saat menggigil perih
Yang setiap waktu akan bangkitkan ingatanmu
Biarlah aku hancur
Menjadi debu dalam fakir
Hingga tidak sisakan kepingan menyatu
Dari pahitnya hidup menjalani takdir
Aku tahu hujan akan hempaskan aku
Setelah angin membawaku naik tinggi menjemputnya
Benturkan aku keras pada tanah kering membatu
Jadikan aku debu sempurna
Ternyata aku sudah menjadi debu
Bahkan kau tidak bisa lagi gumpalkanku dalam nalar
Hingga hujan bisa segera pulangkan aku
Membentuk aku kembali dalam tembikar
Kasih, aku ikhlas membatu
Indramayu, 15 Marer 2015
Tulisaja
Senin, 09 Maret 2015
Terlambat
TERLAMBAT
Aku kecup selembar kelopaknya
Semakin merekah dan gugur
Aku pungut lalu aku simpan di saku
Agar harumnya hanya untukku
Sengaja aku tancapkan durinya di kulitku
Aku rasakan ujungnya yang mulai menusuk
Membawa perih sampai ke kepalaku
Sekejap tentrampun menjalar
Barusan aku tebas mawar itu
Berharap tidak ada lagi yang bisa memiliki
Hingga tidak seorang pun ikut merasakan
Karena aku tidak ingin berbagi
Aku rasakan sakuku sesak
Kelopak yang aku simpan menjadi tunas merambat
Dalam sejuta krama yang belum sempat aku cecap
Tapi malam terlanjur selimuti aku lelap
Ya Tuhan
Segelas kopi sudah tidak hangat lagi
Sementara keretaku mulai beranjak
Jatibarang, 7 Maret 2015
Tulisaja
Minggu, 08 Maret 2015
Labirin
LABIRIN
Aku terjebak pada sebuah labirin pemahaman. Aku tidak tahu lagi arah mana yang harus aku telusuri untuk mengakhiri permainan ini. Arah kiri atau kanan yang aku pilih, rasanya tidak akan ada pengaruhnya lagi. Turuti naluri, aku kira, satu-satunya perunjuk untuk melanjutkan langkah. Gamang.
Lelah langkah tidak pernah surutkan keinginan untuk segera dapatkan jalan keluar. Tapi berkali sudah aku merasa bahwa aku hanya berputar-purar dan selalu kembali ke titik semula. Permainan ini sudah benar-benar menjengkelkanku kini.
Gerbang keluar tidak pernah terbayang ada di mana. Bahkan embusan angin pun enggan memberi sedikit saran. Aku usahakan untuk sebentar terlelap, berharap ada mimpi datang beri secuil ilham. Ternyata tidurku polos dan tidak sedikitpun kirimi aku sepercik arah.
Aku terbangun saat tubuhku tiba-tiba melambung. Semakin tinggi dan aku tergagap. Tidak sempat lagi terpikir untuk meraih pucuk-pucuk untuk menahan tubuhku yang melayang. Terus meninggi sementara aku mencoba untuk memahami apa yang sedang terjadi dan mengingat-ingat kembali apa yang sudah aku lewati.
Aku teringat tentang labirin yang sudah menjebakku. Aku lihat ke bawah, tergambar lorong-lorongnya yang, ternyata, tanpa gerbang masuk dan keluar. Aku amati sekali lagi dari ketinggian. Sungguh tidak ada sama sekali gerbang. Hanya alur-alur setapak yang di suatu tempat bersimpangan, di tempat lain buntu menyekap.
Saat aku merasa terbebas, tiba-tiba kepalaku terlepas. Jatuh kembali kedalam salah satu lorong buntu yang senyap. Tuhan, kini pikiranku yang terjebak.
Indramayu, 8 Maret 2015
Tulisaja