BEGAL
Padahal sebelum berangkat tadi, aku sudah berdoa. "Ya Tuhan semoga aku tidak bertemu dengan begal, aamiin".
Ternyata, di perjalanan aku dibegal. Daripada mendapat celaka karena bersikukuh mempertahankan, akhirnya aku serahkan.
Aku serahkan sepeda motorku, dia menggelengkan kepala. Aku serahkan dompet dengan isi tidak seberapa, dia juga menggeleng.
Aku bingung.
"Ini benar begal, atau canda iseng teman-teman," pikirku menduga-duga.
Aku amati wajah bertopeng hitam itu. Dia balas memandang mataku tajam.
"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.
Dia menunjuk tepat ke dadaku.
"Apa?" tanyaku, semakin bingung.
Sekali lagi dia menunjuk ke dadaku.
"Tidak mungkin jaket lusuhku yang dia pinta" kembali pikiranku menduga, bersama beberapa rasa khawatir yang berkecamuk meraba-raba.
"Apa?" tanyaku, sekali lagi.
"Hati", jawabnya singkat.
"Hati?" tanyaku memastikan.
"Ya, hatimu" jawabnya lagi.
"Tidak bisa, hati ini ada yang punya" sergahku sambil mundur selangkah.
Sigap dia menghunus pisau belatinya dengan tangan kiri dan siap menusukku sementara tangan kanannya masih tetap memegang parang yang menatapku garang di atas kepalanya.
Aku mundur selangkah lagi, merasa ngeri.
"Baik ... baik ... baik, a .. akan aku serahkan, tet ... tet.. tapi separuh saja" kataku tergagap.
"Semua!" sergahnya.
"Jangan lah" pintaku.
"Kalau semua, nanti tidak ada sisa yang bisa aku bawa pulang. Lalu apa yang harus aku suguhkan untuk nanti malam?".
"Aku ..."
Belum selesai aku berkata-kata lagi, tiba-tiba, jleb.
Suara belati yang menembus dadaku lurus menusuk hatiku, mengantarkan aku tersungkur.
Setelah mengorek isi dada dan mengambil seluruh hatiku, begal itu pergi tanpa terburu-buru.
"Begal bodoh. Kau bisa membawa seluruh hatiku, tapi tidak dengan cintaku", batinku berkata seraya bangkit kembali berdiri dengan dada berlubang.
Indramayu, 17 Maret 2015
Tulisaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar