Entri Populer

Jumat, 13 November 2015

Kembali

KEMBALI

Gedung-gedung masih pulas dan basah sehabis hujan semalam. Halte-halte busway benderang oleh lampu-lampu terang tapi kosong. Jalan-jalan sedikit tergenang menyediakan cermin untuk langit memantas diri menyambut pagi. Hari mulai menggeliat katika aku harus tinggalkan kota.

Stasiun Gambir, tempat aku akan dilesatkan untuk kembali ke alam nyataku. Alam di mana aku harus kembali kepada rutinitas; bangun tidur, mandi, sarapan, berangkat kerja, bekerja, pulang, istirahat dan tidur. Rutinitas sebagai budak kebutuhan, budak dunia yang lapar.

Stasiun Gambir, hidup dua puluh empat jam sehari, tidak pernah sepi. Tempat di mana orang-orang dikumpulkan dalam kotak-kotak tujuan dan dipindahkan ke mimpi mereka masing-masing. Dini hari mereka terlihat bergerak seperti robot-robot karena masih enggan untuk berbicara. Mencari tiket, menaiki anak tangga, masuk ke gerbong, duduk dan terlelap.

Peluit melengking memberi tanda untuk kereta agar segera berangkat. Peluit yang sama menamparku memberi tahu bahwa cutiku telah berakhir dan itu berarti aku harus kembali ke kubanganku lagi.

Gambir, 14 Nopember 2015

tino

Kamis, 17 September 2015

Sombong

SOMBONG

Bahkan mengaku tidak sombong adalah kesombongan.

Dan dalam tulisan inipun sepertinya ada terselip secuil kesombongan karena aku sudah menuangkannya.

Apakah sebaiknya aku diam?

Tak usahlah kau jawab. Aku khawatir kesombongan berpendapat ikut mengalir dalam jawabanmu dan akan lebih mengotori apa yang sudah bernoda.

Oh wahai
Betapa mudahnya manusia berbuat sombong padahal sombong itu karakter purba iblis.

Tuhan, ambil saja hati ini sekiranya aku tidak akan mampu menjaganya dari rasa sombong.

Jatibarang, 18 September 2015

Tulisaja

Minggu, 30 Agustus 2015

Terantuk

TERANTUK

Aku terantuk
Saat berjalan mengantuk
Walau tak tersungkur
Tetap aku maki batu itu

Tak habis-habisnya aku gerutui
Sepanjang jalan menjadi lembaran-lembaran amarah
Yang menjelma menjadi keping-keping kebodohan
Tersusun acak menjadi arca dungu di kepala

Aku terantuk lagi untuk kedua kali
Lalu siapa lagi yang akan aku maki?

Indramayu, 30 Agustus 2015

Tulisaja

Jumat, 07 Agustus 2015

Terbakar

TERBAKAR

Sebatang korek
Menyala tergesek batu
Menyulut semak-semak kering
Membakar kaki Manglayang

Mengganas kobar
Mengepung rumpun bambu
Semula sedepa
Lalu semua hangus semata

Asap menghunus menyumpal nafas
Tersengal-sengal mencari nyawa
Untuk bertahan seperti tak bisa
Mengerang meremas luka

Aku dapati aku mengabu
Di samping batang korek dan batu
Hitam arang mangar mendesis
Dari rumpun bambu menahan pilu

Ah,
Masih adakah hidup untukku

Jatibarang, 7 Agustus 2015

Tulisaja

Selasa, 30 Juni 2015

Tentang Kenangan

TENTANG KENANGAN

Kenangan adalah benda mati yang hidup dalam pikiran atas bujukan perasaan. Kalau dia sering membuat letih pikiranmu, kenapa tidak kau buang saja? Setidaknya pikiranmu akan punya ruang untuk menghadapi dunia nyata. Memang, kenangan adalah kenyataan yang berkesan dari masa lalumu. Tapi membiarkan dia mengganggu waktu-waktumu yang semestinya indah menjadi suram adalah sebuah kebodohan.

Kalaupun tidak mampu untuk membuangnya, paling tidak kau filekan saja yang rapi, lalu simpan di sudut ingatanmu. Jadi, bila sewaktu-waktu kau ingin membuka kenangan itu, bukalah. Bukalah kenangan itu oleh pikiran saja, tanpa diketahui perasaanmu, sehingga dia tidak melukai bahkan sekedar menggores hatimu.

Segeralah kau tentukan, dia sampah atau barang antik. Jangan sampai kau terlanjur tertimbun oleh sesuatu yang tidak berguna.

Indramayu, 30 Juni 2015

Tulisaja

Selasa, 23 Juni 2015

Tentang Hujan

TENTANG HUJAN

(Episode 1)
Dan hujanpun sudah menggantungkan niatnya
Pada bulir-bulir di bilik-bilik awan
Sambil menahan rindunya tercurah dalam mendung
Di Mei, bulan yang semestinya kemarau

Ah
Musim pun tengah menyelingkuhi waktu
Menempatkan Mei pada salah satu gugusan kenangan
Menggumulinya dalam nestapa angan
Mendekap gulungan-gulungan kabut basah tengah malam

Kini hujan pun turun
Melerai tengkar kita
Dengan derapan ribuan tetes
Menumbuk segala yang dijumpa

(Episode 2),
Bicara tentang hujan, selalu mengasyikkan. Terutama saat emosi menyeret kenangan masa kecil untuk tergambar kembali.

Aku selalu merindukan hujan, tidak perduli seperti apa dia mewujud saat datang.

Gemerciknya laksana dentingan dawai harpa yang dipetik jari-jari lentik.

Sungguh, saat ini benar-benar aku inginkan hujan sirami aku karena matahari rupanya begitu bebas mempermainkan

Tetesan yang menimpa tanah becek memunculkan gelembung-gelembung yang sekejap musnah

Menggigil tubuh ini tidak pernah membuat aku menyesal untuk terus berharap hujan akan kembali deras.

Saat tubuh basah dikuliti tetesan rapat, berharap kilat merayap menerangi sesuatu yang bisa aku tatap.

Yang syahdu adalah ketika hujan di malam usai. Menyisakan satu dua tetesan dari ujung-ujung genteng. Setiap tetes yang terdengar jernih, seperti tikaman-tikaman pada rasa rindu.

Tubuh ini tidak pernah bisa ditaklukkan oleh hujan. Tapi bagaimana dengan hati ini?

Bahkan gerimis di sisa hujan membuat risau kalau-kalau aku akan kehilangannya.

Kadang aku berharap badailah yang datang.

Indramayu, 23 Juni 2015

Tulisaja

Selasa, 16 Juni 2015

Selamat Datang

SELAMAT DATANG

Hawanya mulai merasuk
Angin ini
Kering ini
Dingin di ujung-ujung jari
Harum debu-debu kering
Dalam khusuk semesta menyambut
Aku kenali engkau
Selamat datang Ramadhan

Indramayu, 17 Juni 2015

Tulisaja

Senin, 25 Mei 2015

Masalah Cinta Lagi

MASALAH CINTA LAGI

Cinta semestinya membuat lo menjadi lebih ceria, kuat, kreatif dan bersemangat.

Kalau gara-gara cinta, lo jadi murung, lemah, melempem bahkan hancur, pasti ada yang salah dengan cinta lo. Atau memang lo yang cengeng.

Cuma laki-laki lemah yang menangis untuk masalah cinta.

Indramayu, 26 Mei 2015

Tulisaja

Kamis, 14 Mei 2015

Melukis

MELUKIS

Lihatlah, dari tadi hanya aku pegang saja kuas ini
Bahkan cat pun sudah mulai mengering di ujungnya

Kecamuk di dalam begitu mengaduk-aduk
Sehingga sulit bagiku untuk mengambil satu per satu warna
Sementara aku ingin melukis sesuatu untukmu

Terlihat kebodohan diri
Bercampur ribuan ketidakmampuan memahami
Bersama lembaran warna hari-hari yang sudah kita lewati
Teraduk acak dalam gulungan ingatan di palet

Aku sudah tidak tahu lagi apa yang ingin aku lukis
Ingin aku siramkan saja adukan di palet ini ke kanvas
Biarkan setiap warna mengambil bentuknya sendiri
Lalu aku tuliskan di pojoknya ucapan selamat ulang tahun untukmu

Kasih, maafkan aku yang tidak juga mampu melukis sesuatu yang indah untukmu

(Selamat ulang tahun untuk istriku Sumintiari Diah Widiastuti)

Indramayu, 15 Mei 2015
03.18 WIB

tino

Rabu, 13 Mei 2015

Pribadi Menarik

PRIBADI MENARIK

Menjadi pribadi yang menarik karena prestasi, itu keren

Menjadi pribadi yang menarik karena keluhuran budi, itu super

Menjadi pribadi yang menarik karena penampilan, itu badut namanya

Indramayu, 13 Mei 2015

Tulisaja

Minggu, 10 Mei 2015

Sederhana

SEDERHANA

Semakin sederhana semakin menarik dan mudah difahami

Semakin rumit semakin punya kesan menutupi kekurangan

Jatibarang, 10 Mei 2015

Tulisaja

Kamis, 07 Mei 2015

Bangga

BANGGA

"Aku senang sekali loh jeng. Anak itu memang anak yang luar biasa. Coba saja diajeng bayangkan. Dia selalu juara kelas sejak SD, SMP, SMA. Bahkan masuk kuliah pun tanpa tes tes segala macem. Tinggal masuk. Dapat beasiswa lagi. Gimana ndak bangga jeng," suara seorang perempuan di bangku belakang supir, di depan bangkuku, membombardir seisi minibus travel yang aku tumpangi. Suara perempuan itu menekuk habis suara mesin mobil hingga merampas kebebasan setiap telinga. Tapi sepertinya orang yang dia ajak bicara tidak menanggapinya.

"Bayangkan jeng, belum juga selesai dia kuliah, sudah banyak perusahaan besar yang booking dia, ha ha ha ha macam kamar hotel saja ya pakai booking booking segala. Sepertinya masa depan bisa dia buat sendiri. Sudah terbayang bakal seperti apa hidupnya nanti. Bakal sukses gilang-gemilang. Teman saya bilang sih, seperti hidup di surga, apa yang disebut, sekejap bakal nyata, ha ha ha ha".

"Belum lagi tampangnya jeng. Gantengnya minta ampun. Pujaan setiap wanita di kampusnya. Ndak ada yang ndak mau dipacari dia. Tapi ndak tahu kenapa, dia belum mau punya pacar. Mungkin ingin konsentrasi di pelajaran supaya bisa lulus 'summa cum laude'. Kalau diajeng masih muda, diajeng juga pasti pingin jadi pacar dia, ha ha ha ha".

Orang yang diajak bicara oleh perempuan itu tidak juga menanggapi. Sementara aku diam-diam ikut mengagumi anak yang diceritakan oleh perempuan itu dan ikut menikmati rasa bangganya. Dengan kurang ajar, aku mulai berkhayal kalau orang yang diceritakan perempuan di depanku itu adalah aku. Tidak perlu waktu lama, khayalanku sudah membius, menyuguhkan cerita yang sungguh beda dari takdir yang sudah kepalang 'nemplok' di badanku. Khayalan yang baru secuil pun buyar ketika supir harus injak pedal rem dengan mendadak karena seekor kucing berlari menyebrang jalan. Sejenak kepanikan menampar lamunan semua penumpang, lalu kembali normal.

Perempuan di bangku belakang supir itu kembali melanjutkan, "tapi sepertinya dia ndak tertarik tawaran kerja dari perusahaan-perusahaan besar itu. Aku kira dia akan melanjutkan kuliahnya, ambil S2 di luar negeri. Wong katanya banyak juga yang sudah tawari dia beasiswa untuk kuliah di luar. S2 lulusan luar negeri, itu kan jaminan mutu loh jeng. Bisa bikin dia kewalahan dikejar-kejar rejeki. Bukan begitu jeng?".

Tanpa menunggu tanggapan dari teman ngobrolnya, dia melanjutkan, "kalau rejeki yang sudah kejar-kejar dia, perempuan mana yang ndak akan kejar-kejar dia. Iya ndak? Mungkin itu yang bikin dia ndak mau punya pacar dulu sampai sekarang".

Mungkin karena lelah bicara, mungkin juga karena tidak pernah mendapat tanggapan dari temannya, perempuan itu tidak bicara lagi dan akhirnya tertidur sambil memeluk rasa bangganya.

Tiba di tempat istirahat, semua penumpang travel turun untuk beristirahat, makan atau sekedar ke toilet. Kebetulan aku berpapasan dengan teman seperjalanan perempuan tadi, saat menuju wastafel rumah makan. Seorang ibu yang sebaya dengan perempuan tadi. Karena dia tersenyum saat berpapasan, aku jadi iseng untuk bertanya.

"Maaf ibu, kalau yang duduk di sebelah ibu tadi itu teman ibu?" Tanyaku.

"Betul dik, memangnya ada apa?" Jawab ibu itu dan balik bertanya.

Merasa diberi kesempatan, aku teruskan pertanyaan yang sempat aku ragukan, "memang anak beliau kuliah di mana?".

Ibu itu sedetik tertegun, lalu, "anaknya siapa?".

"Anak teman ibu," jawabku.

"Oh, anak teman ibu itu sudah bekerja semua. Tidak ada yang kuliah"

"Jadi, yang beliau ceritakan tadi siapa?" Tanyaku penasaran.

Ibu itu mendekatkan wajahnya ke telingaku, lalu setengah berbisik dia bilang, "ibu sendiri tidak tahu siapa yang dia ceritakan. Sudah biasa dia seperti itu, ha ha ha ..." tawanya pelan sambil menarik kembali wajahnya dari telingaku.

Indramayu, 8 Mei 2015

Tulisaja

Sabtu, 02 Mei 2015

Jemput

JEMPUT

Wahai
Kaukah itu yang mengetuk pintuku di pagi buta tadi?
Kenapa tidak kau panggil-panggil aku?
Supaya aku bisa segera kenali suaramu
Lantas aku bukakan pintu untukmu

Kau bilang kau tidak datang untukku
Lalu untuk apa kau ketuk pintu?
Padahal di dalam hanya ada aku
Ini membuat sepagian tadi aku gelisah meragu

Ah, kau malah bercanda kini
Kau bilang tidak pernah mengetuk pintu
Lalu siapa pula yang hendak bertamu untukku?
Bahkan bayanganku pun sudah tidak sudi kenal aku

Tentu kau yang subuh tadi mengetuk pintu
Walau saat aku buka, sudah tidak ada wujudmu
Tapi aku yakini itu dirimu
Karena aromamu masih tersangkut di pekat kabut

Wahai
Kenapa urung kau jemput aku?
Baiklah, biar aku jawab sendiri saja tanyaku itu
Aku hanya yakini aku masih punya waktu
Mengais bekal pulangku

Indramayu, 2 Mei 2015

Tulisaja

Kamis, 30 April 2015

Ingin

INGIN

Sudah cukup lama Bewok merenung. Sejak dia tahu bahwa anaknya punya keinginan untuk membuhuhnya, dia 'shock' setengah mati. Barita itu tidak dia dengar dari orang lain, kabar angin, apa lagi dari wangsit atau mimpi. Berita itu dia dengar dari anaknya sendiri yang menyampaikan keinginannya saat sarapan pagi. Tapi Bewok bingung. Anak bungsunya itu belum mengungkapkan alasan dari maksudnya.

Dalam merenungnya, Bewok berusaha mengorek-ngorek timbunan ingatan, mencari cacat apa kira-kira yang menjadi sebab anaknya punya keinginan gila itu. Setelah lama berkutat dengan bongkahan-bongkahan kejadian, tidak ditemukan satu alasan pun yang bisa menjadi lantaran munculnya niat jahat anaknya itu, baik dari sisi dirinya maupun dari sisi anaknya.

"Aku tidak habis pikir. Jenis setan apa yang sudah membujuk anak itu? Gilanya lagi, dia tidak menyampaikan keinginannya itu dengan emosi, dalam keadaan marah atau kesurupan. Dia menyampaikan keinginanya itu dengan sadar dan santai, justru sangat santai, di sela-sela obrolan sarapan pagi. Ini gila atau konyol?" Batin Bewok sibuk.

Masih jelas percakapan pagi tadi di ingatan Bewok.

"Pah, boleh aku bilang sesuatu?" tanya Siswo, anak bungsunya, di sela-sela obrolan pagi itu.

"Boleh. Apa?" santai, Bewok menimpali.

"Serius ini Pah," kata Siswo, sambil mendadak menghentikan aktifitas sendok dan garpunya di atas piring.
Bewok ikut menghentikan tangannya, lalu, "kalau memang serius dan penting, sebaiknya kita bicarakan nanti malam saja, waktunya akan lebih leluasa".

"Tidak bisa Pah," sambar anaknya, datar.

"Tidak bisa?"

"Iya"

"Tidak bisa menunggu sampai nanti malam?" tanya Bewok lagi.

"Tidak bisa," cepat anaknya menjawab.

"Semendesak itukah?" Bewok mulai serius.

"Sangat mendesak," kata Siswo masih dengan nada datar.

"Harus sekarang?" Bewok mancoba menggoda.

"Ayo lah Pah. Serius ini," sahut Siswo dengan membalurkan sedikit rasa jengkel pada ekspresi wajahnya.

"Ok, ok. Apa itu?" tanya Bewok mencoba serius.

Siswo terdiam sejenak, sekedar memastikan kalau papahnya sudah benar-benar serius dan siap mendengarkan apa yang akan dikatakan. Dua kali Siswo menarik nafas panjang, lalu, "aku ingin membunuh Papah".

"Apa? kamu ingin membunuh Papah? Kamu bercanda kan?" Antara serius dan ingin tertawa, Bewok bertanya.

"Serius Pah".

Bewok terhenyak. Diam beberapa lama. Bahkan pikirannya ikut berhenti. Tidak pernah menyangka anaknya akan punya keinginan yang sungguh menebas habis akal sehat, bahkan akal sakit sekalipun.

"Kenapa?" Bewok bertanya, murung.

"Nah, untuk kenapanya, ini yang akan kita bicarakan nanti malam, Pah" kata Siswo, menyudahi sarapan paginya, berdiri, mencium tangan Papahnya dan pamit berangkat ke sekolah.

Siswo, anak muda tampan yang baru duduk di kelas sebelas pada sebuah SMU ternama di kotanya, adalah seorang siswa yang cerdas. Fasilitas pendidikan nomor satu ditunjang kemampuan orang tuanya yang tanpa batas, menjadikan Siswo tumbuh menjadi murid dengan prestasi akademik di atas rata-rata, bahkan boleh dibilang memiliki prestasi premium. Selain prestasi akademik yang mumpuni, dalam pergaulan sosial, Siswo adalah seorang anak yang mudah bergaul dan banyak teman. Seorang anak yang menyenangkan. Satu-satunya kelemahan yang ada pada Siswo adalah dia terlalu sempurna.

Bewok juga ingat betapa siang itu dia tidak bisa berkonsentrasi saat bekerja. Kekacauan nalarnya membuat dia terus menerus resah dan memutuskan untuk pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Obrolan pagi tadi, hingga tersampaikannya keinginan Siswo, sungguh sangat mengganggu pikirannya. Meski pada awalnya Bewok tidak menganggap serius keinginan anaknya, tapi pada akhirnya mampu juga mengerogoti ketentraman harinya. Bahkan memaksa memunculkan rasa cemas luar biasa. Bukan cemas atas dirinya, tapi cemas terhadap anaknya. Keinginan anaknya itu bukan saja aneh, tapi juga gila.

Di tengah merenungnya yang belum juga menemukan apa-apa, tiba-tiba Siswo datang menghampiri. Masih mengenakan seragam sekolahnya. Rupanya dia baru pulang sekolah. Setelah mengucapkan salam, mencium tangan Bewok, lantas masuk ke kamarnya. Datar dan sangat biasa, seperti tidak ada yang penting yang sudah dan bakal terjadi. Dan sore itu merangkak sangat lambat dalam perasaan Bewok. Sore yang menempatkan Bewok pada pasangan-pasangan harapan yang bertolak belakang. Dia berharap malam segera datang, tapi juga berharap malam tidak pernah sampai padanya. Dia berharap segera tahu alasan anaknya, tapi juga berharap tidak pernah mendengar alasan itu.

Waktu makan malam tiba. Waktu yang ditunggu-tunggu, juga yang dibenci datangnya oleh Bewok. Waktu yang membuat sisa hari menjadi gelisah dan pikiran tidak menentu. Sebelum makan, Bewok bertanya, "ok, coba kamu bilang, kenapa sampai bisa punya rencana itu?".

Siswo terdiam sejenak, lalu, "Pah, bagaimana kalau kita bicarakan hal ini nanti, selesai makan?".

"Tidak bisa. Papah ingin tahu sekarang. Sekarang!".

Siswo bangkit dari duduknya, lalu segera masuk ke kamarnya. Tidak lama. Dia keluar dari kamar sambil menenteng sebuah pistol. Saat jarak tersisa dua meter, dia mengacungkan pistolnya, diarahkan tepat ke titik di antara dua mata Bewok.

Bewok bangkit, arah pistol mengikuti kepalanya.

"Siswo, ada apa ini? Ada apa dengan kamu? Kamu sudah gila ya?" Teriak Bewok di tengah kengeriannya.

Dorrr!!! Pistol meledak.

Bewok berdiri kaku, matanya terbelalak. Pandangan matanya mendadak gelap, jantung ikut berhenti berdetak. Satu tangannya meraba dahi dengan mata yang kini terkatup rapat. Tidak dia temukan apa-apa di dahi kecuali keringat membulir. Pelan dia buka mata. Dilihatnya Siswo masih di depannya, dengan pistol berasap di tangan yang terkulai. Dipandangi anaknya itu dengan mata yang tenang.

Tiba-tiba pecah tawa Siswo.

"Ha ha ha ha ha ha, selamat ulang tahun Pah," seraya memeluk Bewok.

Bewok melepaskan pelukan anaknya dengan paksa, memandangnya sebentar lalu menamparnya keras.

Kini Siswo yang terbelalak, mungkin menyesal. Bewok memandang anaknya, yang mematung, cukup lama, lalu tertawa panjang.

"Ha ha ha ha ha ha ha, di mana mamahmu? Cepat panggil mamah! Ayo kita rayakan," kata Bewok lalu mengambil kunci mobil.

Indramayu, 27 April 2015

Tulisaja

Rabu, 22 April 2015

Maesaroh

MAESAROH

Akhirnya Bewok memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Pekerjaan yang sudah belasan tahun dia geluti, sebagai karyawan di sebuah pabrik tekstil yang cukup besar. Besok dia akan ajukan surat pengunduran dirinya ke bagian personalia. Dia memutuskan untuk memulai usahanya sendiri bulan depan.

Kalau selama ini dia bertahan di tempatnya bekerja, belasan tahun, bukan karena kenyamanan bekerja. Bukan juga karena romatisme buluk bernama loyalitas. Dia bertahan karena ketidakberaniannya memulai usaha sendiri. Dia selalu dibayangi rasa takut kalau-kalau usahanya gagal. Dia pangecut tulen. Seorang pengecut yang matanya selalu tersumpal gombal kotor kebangrutan. Seorang pengecut yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk memutuskan keluar dari pekerjaannya dan memulai usahanya sendiri. Tentu saja dia tidak mengakui semua itu secara terang-terangan.

Sudah sangat lama dia ingin punya usaha sendiri karena dia tidak ingin mengendap dan mengerak menjadi karyawan, menjadi pesuruh. Dia tidak ingin terlalu lama dibungkus peraturan-peraturan perusahaan. Dia tidak ingin terlalu lama diteror pedang-pedang sanksi perusahaan yang mengancam. Dia tidak ingin menjadi orang yang selalu mencari-cari tanggal merah pada kalender untuk mendapatkan libur. Dia ingin merdeka. Dia ingin menjadi orang yang memegang kendali. Dia ingin menjadi boss.

Walau sudah terlanjur lama menjadi karyawan dan hampir berkarat, menurutnya, seperti kata para motivator, tidak pernah ada kata terlambat. Bewok berpikir bahwa usahanya harus segera dimulai, walau hanya berupa usaha kecil-kecilan. Dia ingat selogan dari seorang pebisnis sukses yang mengatakan, "lebih baik kecil tapi jadi boss dari pada besar tapi jadi jongos". Selogan sedikit kasar yang pernah dia baca pada sebuah biografi bertahun lalu dan masih anteng bergelayut dipikirannya. Dia akan membuka usaha rumah makan.

"Kalau orang lain bisa sukses, masa aku tidak. Ini hanya masalah nyali. Ini masalah tekad dan kemauan. Ini tentang kaliber seseorang," begitu pikirnya

Seorang teman pernah meragukan keputusannya. Sekedar mengorek bulat atau perseginya keputusan yang dia buat, teman itu bertanya, "kawan, apakah keputusanmu itu sudah kau pikirkan masak-masak? Bagaimana kalau usahamu nanti gagal dan bangkrut? Keluargamu akan kau kasih makan apa?".

Tapi Bewok teguh kukuh belapis baja pada keputusannya. Dia menduga pertanyaan temannya itu hanya siasat jahat saja supaya dia tidak meninggalkannya dan tetap bekerja bersamanya. Dugaan busuknya, temannya itu tidak rela kalau suatu saat dia sukses dengan usahanya. Walau kekhawatiran akan kegagalan itu tetap ada, dia berusaha menjadi batu karang.

"Ah, kalau setiap manusia punya teman yang meragukan dan berhasil mempengaruhinya, dunia ini pasti masih berada di jaman batu sampai saat ini. Untung saja Pak Dirman, Bung Tomo, Bung Karno, Bung Hatta, dan para pendiri bangsa lainnya tidak mempunyai teman seperti itu. Mungkin juga ada, tapi tidak bisa mempengaruhinya. Ini tentang prinsip. Kalau saja masing-masing mereka punya satu dan berhasil mempengaruhinya, negara ini tidak akan pernah merdeka," begitu pikirnya, sekedar menguatkan hati.

Satu bulan berlalu. Bermodal uang jasa dari perusahaan, tabungan, dan pinjaman dari bank, Bewok membuka usahanya. Dia kontrak sebuah ruko milik temannya. Sebuah ruko dekat pasar yang cukup ramai, tidak jauh dari tempatnya tinggal. Walau letak ruko itu tidak terlalu strategis, tapi Bewok yakin akan rencananya.

"Usaha rumah makan itu usaha mengelola selera. Kalau selera sudah pas, lidah sudah terjerat, di dalam goa pun akan dicari," pikirnya. Apalagi menu andalan bikinannya sudah banyak yang memuji enak saat dia mengadakan uji pasar secara diam-diam ke para tetangganya.

Bulan pertama cukup sukses. Banyak orang yang hampir setiap hari datang untuk makan di rumah makannya, atau membeli masakannya untuk di bawa pulang. Bulan berikutnya, penjualan kurang menggembirakan. Terlebih setelah harga BBM galau, naik dan turun tidak tentu rumusnya, rumah makan Bewok semakin sepi dan penjualan semakin mengkerut. Masuk bulan ke enam, usaha rumah makan Bewok semakin sesak nafas. Bisnis Bewok sekarat, sementara hutang bank harus tetap dibayar angsurannya dan rumah makan harus tetap buka, apapun yang terjadi.

Bewok berpikir keras. Bagaimana cara supaya rumah makannya bisa ramai pengunjung lagi. Dalam kebuntuan, tiba-tiba seorang temannya dari kampung menelepon. Setelah berbasa-basi.

"Aku mau minta tolong. Kau kan punya rumah makan, aku ingin titipkan anak gadisku supaya bisa bekerja di rumah makanmu. Jadi apa saja lah. Sekedar cuci piring saja sih, dia bisa. Dari pada dia di sini. Paling tidak, dia bisa punya pengalaman di kota," lewat telepon, tamannya menjelaskan.

"Anakmu Munaroh?" Tanya Bewok.

"Bukan. Adiknya, Maesaroh" sahut temannya.

"Kawan, bukan apa-apa. Usahaku saat ini sedang lesu. Aku belum bisa mengambil karyawan. Bahkan karyawan yang sejak awal ikut bersamaku pun aku berhentikan karena aku sudah tidak bisa menggajinya," kata Bewok menjelaskan keberatannya.

"Tolong aku kawan, aku mohon. Anakku ingin sekali bekerja di kota. Biarlah, untuk sementara dia bekerja di warung makanmu," rengek temannya.

Seperti biasa, Bewok menyerah. Bewok KO oleh rasa ibanya. Akhirnya dia setuju untuk menerima permintaan temannya itu dengan catatan, dia tidak bisa memberi gaji yang sesuai. Temannya pun setuju.

Dua hari setelah temannya itu menelepon, datang seorang gadis ke warung makan Bewok. Seorang gadis yang terlihat menarik walau penampilan kampungnya masih sangat kentara. Gadis itu memohon untuk bisa ikut bekerja di warung makannya. Bewok menduga gadis ini Maesaroh, putri temannya dari kampung. Datang membawa satu tas besar penuh pakaian, satu tas tangan berisi perlengkapan pribadi, penampilan dan muka yang kusut karena perjalanan jauh, juga sepasang mata yang indah tapi seperti menyimpan rahasia.

"Kamu Maesaroh ya?" tanya Bewok.

Gadis itu sejenak terdiam lalu menjawab pelan sambil menunduk, "iya".

"Ya sudah, kamu istirahat dulu. Besok saja kamu mulai bekerjanya," lanjut Bewok. Kemudian Bewok menunjukkan kamar untuk gadis itu di lantai atas rukonya. Sebuah kamar yang sudah dia siapkan itu sebelumnya digunakan untuk gudang penyimpanan beberapa barang keperluan rumah makannya.

Perlahan tapi pasti, sejak ada Maesaroh membantu melayani, rumah makan milik Bewok kembali ramai dan bisnis pun mulai bergairah. Di hari-hari pertamanya, memang ada semacam kecanggungan saat melayani pembeli. Tapi itu tidak berlangsung lama. Maesaroh cepat sekali menyesuaikan diri, bahkan terlalu cepat. Paras yang menarik dan keramahtamahan yang menggoda dari Maesaroh membuat pembeli, terutama laki-laki, kembali datang dan makan di rumah makan itu. Tiga bulan sejak ada Maesaroh, rumah makan bewok maju pesat. Pengunjung selalu penuh, terutama pada jam-jam makan siang dan malam. Bewok pun sudah menambah dua orang lagi karyawannya untuk membantu melayani pembeli.

Suatu hari, sambil memandang Maesaroh yang tengah membersikan meja, Bewok jadi ingin menelepon temannya di kampung, Bapaknya Maesaroh. Dia ingin memberi kabar kesuksesannya dan ingin mengucapkan terimakasih. Begitu telepon di seberang diangkat, Bewok langsung membombardir

"Halo kawan, aku Bewok. Iya, ini aku Bewok. Maaf aku baru bisa telpon. Kenapa? Kau tidak bisa telpon aku? Ha ha ha ha, aku ganti nomor. Orang bank itu terlalu rewel. Aku tidak tahan ditagih angsuran terus setiap hari, ha ha ha ha. Aku sungguh tidak menyangka, kawan. Untung saja waktu itu kau meminta aku untuk menerima anakmu membantu di rumah makan. Anakmu, Maesaroh sungguh membawa keberuntungan untukku. Dia benar-benar ajaib. Sejak ada dia, rumah makanku selalu ramai pembeli. Kalau dia punya adik, boleh juga kau titipkan di sini. Biar bisnis rumah makanku semakin besar, ha ha ha ha. Kau punya anak yang hebat kawan".

Seperti tidak ingin memberikan kesempatan, Bewok melanjutkan, "kau tentu ingin tahu kabar Maesaroh. Dia baik-baik saja di sini. Kau tenang saja kawan. Dia sehat-sehat saja. Sekarang ....".

Sambungan telepon terputus.

"Ah, pulsaku habis rupanya," gumam Bewok lirih.

Tidak berapa lama, datang pesan singkat dari temannya itu.

"Aku mohon maaf kawan. Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Barusan aku ingin telpon balik, tapi aku urungkan. Aku khawatir kau semakin meracau. Lagi pula aku tidak kau beri kesempatan untuk bicara. Kawan, aku minta maaf. Aku minta maaf karena anakku Maesaroh waktu itu tidak jadi berangkat untuk bekerja di rumah makan milikmu. Dia meninggal karena kecelakaan dua hari setelah aku telpon dirimu. Maafkan aku kawan. Kalau boleh aku memberi saran, kau ikhlaskan saja semuanya sebagaimana aku mengikhlaskan anakku, Maesaroh. Jangan terlalu kau pikirkan. Jatuh bangun dalam dunia dagang itu biasa. Lebih mendekatkan diri saja pada Tuhan, supaya kau lebih tenang menghadapi kegagalan ini. Salam buat keluarga".

Bewok berulang-ulang membaca lagi pesan singkat temannya itu, sambil sesekali memandang "Maesaroh" yang sedang melayani pembeli.

Indramayu, 22 April 2015

Tulisaja

Jumat, 17 April 2015

Rindu

RINDU

Bewok sudah tidak perduli lagi pada penampilannya. Beberapa hari tidak mandi, hanya dibalur semprotan parfum murah, membuat tubuhnya berbau alkohol dari parfum. Menyengat seperti botol arak yang baru saja kosong. Baju salinnya yang tidak lagi disetrika, semakin menegaskan kusutnya hidup. Sejak dipecat dari pekerjaannya, perekonomian keluarga langsung amblas. Dalam sekejap, kemiskinan yang sebelumnya pelan memeluknya, menjadi semakin galak mencakar-cakar. Kondisi semakin rumit saat istrinya yang sudah tidak lagi tahan berendam dalam kesengsaraan, meminta untuk diceraikan lalu pergi memboyong kedua anaknya pulang ke kampung orang tuanya. Seperti belum puas atas babak belurnya hidup Bewok, lingkungan tempat tinggalnya juga ikut menyiksa dengan selalu mencurigainya. Semua betotan dan sabetan nasib itu membuat hidupnya melempem seperti sampah basah. Busuk, bau dan loyo. Dia menganggap hidupnya sudah hancur sempurna.

Sejak tidak ada lagi yang melayaninya di rumah, Bewok menjadi pelanggan warung makan. Di warung makan itulah dia menjinakkan rasa laparnya. Seperti hari-hari sebelumnya, sore itu Bewok datang ke warung makan langganannya. Salah satu warung makan remang-remang dengan dinding dari anyaman kulit bambu bermotif. Sebenarnya banyak tempat makan yang bisa dia pilih di sepanjang jalan itu. Tapi selalu warung makan itu yang dia tuju. Diam-diam dia telah jatuh hati pada perempuan pelayan di warung itu. Dia benar-benar terjerat dan gila. Sore itu dia sangat ingin bertemu dan mendekatinya. Tidak bisa ditunda-tunda lagi karena rindunya sudah bengkak.

"Semoga uang yang aku kumpulkan ini, cukup untuk merayunya," harapnya, sambil merogoh saku celana.

Mengambil tempat di meja paling pojok, Bewok belum melihat perempuan pelayan yang biasa melayaninya. Hanya ada perempuan setengah baya yang biasa dipanggil mami dan seorang perempuan pelayan lain. Makan sudah lama selesai dan sore pun sudah terlanjur menjadi malam. Bewok belum juga ingin menghabiskan kopinya karena belum berjumpa dengan perempuan pelayan dambaannya. Dia bertekad untuk menunggu.

Asbak rokok di mejanya pun sudah penuh dengan puntung-puntung tandas. Bewok masih bersabar menunggu, sambil terus menatap asbak berisi puntung-puntung yang semakin menggunung. Cukup lama ketika tiba-tiba masuk ke dalam warung dua orang, laki-laki dan perempuan. Sang perempuan bergelayut manja di pundak laki-lakinya. Awalnya Bewok tidak perduli hingga melintas di sisi telinga suara yang sudah dia kenal sebelumnya. Suara lembut itu memaksa dia mengangkat kepalanya yang mulai terbenam ke dalam asbak.

"Bunga", panggilnya, tertahan dan pelan, lebih seperti memberi tahu kepada diri sendiri siapa yang dilihatnya. Bewok mengurungkan niatnya untuk kembali memanggil setelah mengetahui Bunga, perempuan yang dirindunya, secara telak mengabaikannya. Juga setelah dia mengetahui siapa laki-laki yang digelayuti Bunga. Laki-laki yang membuat semangat, termasuk hasratnya kempes dan meringkuk. Kecewa dalam diam. Lalu dia kembali memendam kepalanya di dalam asbak, lebih dalam, terbakar bersama puntung-puntung dan abu.

Kedua orang itu terus berjalan ke bagian belakang warung dan tidak keluar lagi.

Malam dan cemburu mencapai puncaknya. Bewok memutuskan untuk meninggalkan warung itu. Dia yakin, Bunga tidak akan keluar lagi. Tidak akan pernah keluar lagi. Suasana jalan di depan warung sudah sepi dan pulas karena saat itu bukan akhir pekan. Perempuan setengah baya penjaga warung pun terlihat sengit berjuang mempertahankan melek matanya, sambil duduk selonjor di atas balai kayu, bersandar pada dinding dekat etalase masakan.

Setelah menyadarkan perempuan itu, Bewok membayar makan dan kopinya. Pelan, dia mendengar perempuan itu bicara pada diri sendiri, sejenak setelah melihat mobil tamu yang diparkir di depan warung, "ah, sepertinya Pak Kades akan bermalam lagi malam ini".

Bewok menghampiri sepeda motor belelnya yang terparkir di samping mobil sedan mewah. Menghidupkan mesinnya lalu pergi.

"Mobil yang bagus," gumamnya, sambil berlalu. Bewok pergi dengan membawa bara api di kepalanya.

Menjelang subuh, warung itu terbakar hebat. Api tiba-tiba muncul dengan cepat dan segera menjalar ke seluruh ruangan, menelan segalanya. Juga ke beberapa warung di kiri dan kanannya. Dengan cepat kebakaran itu menghabiskan dan meratakan semua bagian warung. Semuanya. Termasuk membakar mobil sedan mewah yang tengah parkir di depannya.

Petang itu Bewok melihat berita terbakarnya warung makan langganannya dari televisi sambil menikmati kopi, di sebuah warung makan di kota yang cukup jauh dari rumahnya.

Indramayu, 18 April 2015

Tulisaja

Kamis, 16 April 2015

Tetes

TETES

Bersama embun yang terlepas
Keringatku pun menetes

Tes

Hanya sekali

Indramayu, 17 April 2015

Tulisaja

Puisi (Lagi-lagi) Tentang Cinta

PUISI (LAGI-LAGI) TENTANG CINTA

Janganlah kau mengagungkan cinta
Karena kau akan susah payah menjaganya
Saat kau terlalu lelah menggenggamnya
Kau akan terhempas remuk meratapinya

Jangan juga kau paksakan cinta
Karena pasti kau tengah membohonginya
Saat kau harus jujur tentangnya
Sayatan akan tertoreh sebarkan nestapa

Jangan sekali-kali kau permainkan cinta
Karena kau akan terjebak pada ribuan dusta
Saat kau harus membuka semua
Jangan lagi berharap ada bahagia

Cinta sepanjang masa
Hanya rayuan gombal belaka
Kalau ada yang bisa merawat cinta
Karena cinta miliknya apa adanya

Perlakukan cinta sebagai cinta
Suguhkan saja sewajarnya
Walau dia menebarkan aroma sejuta rasa
Tidak perlu menjadi gila

Ah, kau kini malah punya sangka
Bahwa aku tengah jatuh cinta
Kalau sangkaku pada sangkamu nyata
Maka harus kau baca semua yang aku tulis tentang cinta

Indramayu, 17 April 2015

Tulisaja

Rabu, 15 April 2015

Elang

ELANG

Aku selalu iri pada elang. Bukan pada penampilannya yang gagah. Bukan pada keanggunannya saat terbang melayang. Bukan pula pada tatapan matanya yang tajam.

Aku selalu iri pada elang. Aku iri pada caranya menikmati kesendirian. Aku iri pada keikhlasannya dalam sepi. Aku iri pada kekhusu'annya mengukir senyap.

Aku selalu iri pada elang. Aku iri pada pencapaian kesempurnaannya menggumuli diri.

Indramayu, 13 April 2015

Tulisaja

Sabar

SABAR

Diam itu adalah dinding kesabaran

Terusiknya hati adalah titik kecil di dinding kesabaran

Pengungkapan adalah retakan awal pada dinding kesabaran

Dan penentangan adalah
kehancuran dinding kesabaran

Dan itulah kehancuran manusia yang sesungguhnya

Indramayu, 27 Oktober 2013

Tulisaja

Demam

DEMAM

Terbujur lemah
Menikmati demam yang makin menggila
Ditemani seonggok tubuh menggigil
Aku coba membunuh rasa

Membawa bayang bayang aneh di kelopak mata
Kadang membesar kadang mengecil
Memanjang dan memendek
Meredup dan mendadak benderang

Hitam merah kuning putih berbaur tidak teratur
Mengacaukan isi kepala yang semakin bergolak
Meniadakan kemampuan nalar bergerak

Memaksa untuk pejamkan mata
Di bawah bayang rasa takut
Tidak akan pernah bisa lagi terbuka
Di batas antara ada dan tidak
Ternyata hanya bayang bayang brutal yang tersisa

Tidak aku lihat sang penjemput itu ada
Tuhan, jangan utus dia sekarang
Aku belum siap untuk pulang

Indramayu, Desember 2013

Tulisaja

Kepala

KEPALA

Kenapa pagi tadi
aku kenakan kepala yang satu ini?
kepala yang begitu banyak beban di dalamnya
dengan kondisi kurang fit pula
yang terasa berat
tapi tetap harus dibawa

kenapa pagi tadi tidak aku ambil kepala yang lain?
walau sama punya beban
setidaknya tidak terlalu memberatkan
yang masih bisa kasih senyum untuk dunia

Kenapa tidak aku lepas saja kepala ini?
kalau hanya rasa sakit yang tersisa

Ingin rasanya aku lepaskan dia sejenak
sekedar memberi waktu
untuk meredakan rasa
sekedar membiarkannya mengosongkan logika

Jatibarang, Desember 2013

Tulisaja

Kuaci

KUACI

Kasih
Mungkin inilah cara terbaik kita menutup hari
Biarkanlah hanya jari dan mulut kita yang menari mencari
Habiskan sisa waktu di sepenggal hari
Mosongkan sejenak beban dan gundah hati
Berganti angan siapkan hari hari nanti

Kasih
Mungkin inilah cara terbaik kita menutup hari
Nikmati sepi bersama sebungkus kuaci

Jatibarang, 23 Januari 2014

Tulisaja

Selasa, 14 April 2015

Pecundang

PECUNDANG

Pulang kerja sore tadi, aku melihat banyak anak punk di sepanjang jalan Jatibarang - Indramayu. Akan ada konser Iwan Fals malam nanti.

Rata rata mereka ada di usia ABG. Celana pensil hitam, t'shirt hitam sudah jadi dresscode paten mereka. Ditambah accesoris pearching dihidung, telinga dan sebagian bertato plus penampilan kumuh terkesan 'mandi kalo turun hujan' membuat logika ini sedikit sinis bergumam "mo jadi apa lo pada ntar kalo dah gede?"

Tiba tiba mata ini tertarik pada tulisan di t'shirt salah seorang anak. Tulisan warna kuning di atas t'shirt hitam dengan huruf kapital jelas terbaca "MUSUH UTAMAKU ADALAH PECUNDANG", membuat aku berpikir ulang tentang arti kata "pecundang".

Indramayu, Desember 2013

Tulisaja

Satu Kata

SATU KATA

"Ini saya harus sampaikan di sini. Di forum ini. Karenanya semua teman-teman saya undang untuk berkumpul. Maksud saya mengundang teman-teman semua di sini sebenarnya hanya satu alasan. Saya mau minta ijin ke teman-teman semua. Tolong ijinkan saya mengucapkan sesuatu di hadapan teman-teman. Sebenernya sudah sejak beberapa waktu lalu saya ingin mengucapkannya. Sebenarnya saya bisa mengucapkannya di mana saja, tanpa harus ada forum seperti ini. Tapi kok ya kalau dirasa-rasa, seperti kurang enak kalau saya mengucapkan ini tidak di depan teman-teman semua. Kurang afdol rasanya".

"Yang ingin saya ucapkan ini sudah sangat menggumpal dan padat di kepala saya. Minta segera dikeluarkan. Tapi, ya itu tadi, saya menunggu waktu yang tepat untuk mengucapkannya. Walau dengan sangat terpaksa, saya harus menahan dengan susah payah, supaya kata ini tidak terlanjur tumpah. Nah, berhubung teman-teman semua sudah berkumpul di sini, perkenankan saya untuk mengucapkannya, sekedar untuk melonggarkan isi kepala dan dada saya. Apa ada yang keberatan kalo saya mengucapkannya saat ini? Semoga tidak ada yang keberatan. Karena kalau kata ini batal untuk diucapkan, akan sangat menyiksa saya di sepanjang sisa umur saya. Kepala yang terlanjur padat ini akan membatu dan rongga dada yang sudah sesak ini akan membusuk. Jadi, sepertinya tidak ada pilihan lain buat teman-teman semua selain mengijinkan saya mengucapkannya sekarang. Ini seperti perlunya pelepasan saat orang sudah sangat kebelet ke belakang, atau seperti ibu hamil saat anak dalam kandungannya sudah minta untuk keluar. Untuk itu, tolonglah. Ijinkan saya mengucapkannya, satu kali saja. Saya tidak akan menyita waktu teman-teman terlalu lama. Karena saya hanya perlu mengucapkan satu kali saja. Cuma satu kali. Saya tidak akan minta tambah jadi dua atau tiga kali. Satu kali, cukup. Bagaimana teman-teman, apakah teman-teman sepakat bulat mengijinkan saya mengucapkannya sekarang?".

Semua hanya diam, menundukkan wajah.

"Baiklah, kalau memang sudah sepakat untuk mengijinkan, saya akan ucapkan. Tapi sebentar teman-teman. Saya harap teman-teman tidak ada yang tersinggung atau marah setelah saya mengucapkannya. Apalagi ada yang menaruh rasa dendam di hati. Saya harap teman-teman bisa memaklumi ini. Karena saya yakin, seyakin-yakinnya, ini akan sangat meringankan isi kepala saya dan akan melapangkan rongga dada saya. Dan lagi pula, teman-teman tidak bisa tersinggung atau marah, apalagi dendam. Karena saya mengucapkan itu atas ijin teman-teman semua. Tapi, kalaupun ada dari teman-teman yang tersinggung, marah atau dendam sekalipun, sejujurnya saya tidak perduli. Jadi, sudah tidak ada alasan kan?” Panjang, mantan calon anggota legislatif yang gagal itu bicara di depan para pendukung, juga mantan pendukung dan team suksesnya, tanpa ada yang berani menyela ataupun interupsi.

Dan dia melanjutkan, "baiklah teman-teman, saya hanya ingin mengucapkan kata ini satu kali di depan teman-teman semua".

Kemudian dia menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Lalu dia berteriak keras dan panjang seperti lolongan. Sampai-sampai nadi di lehernya menggembung, mata melotot dan tubuh serta kepala bergetar hebat, "annjeeeeeeeeeeng”.

Dan orang itu pun menggelepar, lalu pingsan.

Tiga bulan berlalu. Di halaman sebuah Rumah Sakit Jiwa, terlihat seorang pasien tengah berpidato, berapi-api.

"Ini saya harus sampaikan di sini. Di forum ini...".

Jatibarang, 9 Januari 2014

Tulisaja

Rabu, 08 April 2015

Takdir

TAKDIR

Bahkan aku sudah tidak ingin lagi untuk bermimpi. Ribuan petuah motivasi dari mereka, biarlah untukmu saja. Ya, untukmu saja semua. Tidak akan aku sisakan satupun untukku.

Biarkan kini aku memeluk takdirku. Sesuka dia ingin membawa aku. Mengombang-ambingkan aku. Melambungkan dan menghempaskan. Aku ikuti saja iramanya, alirannya. Tidak akan lama, aku yakin itu. Jika aku lawan alirannya pun, tetap akan membawaku ke muara yang sama.

Aku mulai hafal tabiat takdir. Semakin ditentang, semakin sengit dia menerjang. Semakin dilawan, semakin brutal dia mempermainkan. Saat dipasrahkan, malah lembut dia membelai. Semakin dipasrahkan, semakin sejuk dia memanjakan.

Aku mulai hafal tabiatnya. Sayangnya, aku sering kehilangan kesabaran meladeninya.

Jatibarang, 8 April 2015

Tulisaja

Senin, 06 April 2015

Nasi Uduk

NASI UDUK

Nasi uduk berkawan karib dengan bawang goreng dan emping. Dari dulu begitu, ga pernah berubah. Ada kawan-kawan lain yang mengisi kehidupan mereka, tapi silih berganti, ga ada yang pasti. Yang rada setia menemani paling ayam goreng dan itupun ga pernah jelas bagian apa, kadang paha atas, paha bawah, sering juga sayap.

Suatu hari bawang goreng sakit. Dia ga bisa berkumpul seperti biasanya. Lantas saja terasa hambarlah hari-hari yang dirasa oleh nasi uduk maupun emping. Hari berlalu begitu saja tanpa ada keriangan. Nasi uduk melaluinya dengan wajah murung. Sementara emping melewatinya dengan cemberut dan melempem. Ketidakhadiran yang memuramkan hari.

Wahai, begitu indahnya persahabatan. Disaat ada satu ketidakhadiran, akan menghambarkan semua rasa. Nasi uduk, bawang goreng dan emping, selalu begitu dari dulu dan ga pernah berubah.

"Mas bawang gorengnya mana, kok nasi uduk saya belum dikasih bawang goreng?" tanyaku ke mas pedagang nasi uduk pinggir jalan itu.

"Sakit" jawabnya singkat.

Dan aku melongo takjub.

Indramayu, 3 Pebruari 2014

Tulisaja

Minggu, 05 April 2015

Kemah

KEMAH

Harum daun jati masih melekat pada lembar-lembar sinar matahari pagi. Ini pagi ke tiga aku berada di kemah ini. Memang bukan sebuah kemah yang sempurna, tapi ini kesendirianku yang utuh.

Satu keluarga ketilang riang membangun hari, membuat aku iri. Sang induk menyulam sarang pada beberapa sisinya yang rusak. Sementara dua anaknya menciap-ciap. Ciapan dengan mulut terbuka lebar dan urat leher menegang kencang, lapar.

Aku baru saja mencoba menyalakan satu blok parafin pada tungku tumpukan batu."Secangkir kopi akan membuat pagi ini sempurna," pikirku.

Menunggu air mendidih, aku ambil buku catatan dan ballpoint. Belum banyak yang aku tulis ketika aku dengar air mendidih dari panci. Aku tuangkan air pada cangkir kaleng untuk meleburkan kopi sachetan. Seketika harum kopi bergumul bersaing, mematikan harum daun jati.

"Ah, kemana perginya harum daun jati?" Tanyaku, dalam hati. Akupun merasa kehilangan.

Sedikit terbersit rasa menyesal. Harum kopi hanya bisa sedikit menghiburku atas kerinduan. Kerinduan akan suasana yang sudah aku robek sendiri untuk menuruti keinginan. Aku tidak menyangka, harum kopi justru merusak suasana pagi ini.

Semoga aku bisa dapatkan suasana bersama harum daun jati itu besok pagi, di hari terakhirku.

Sekedar menenangkan hati, aku baca kembali catatan tadi.

"Harum daun jati masih melekat pada lembar-lembar sinar matahari pagi. Ini pagi ke tiga aku berada di kemah ini. Memang bukan sebuah kamah yang sempurna, tapi ini kesendirianku yang utuh ..."

Indramayu, 5 April 2015

Tulisaja

Sabtu, 04 April 2015

Cukil

CUKIL

Menertawai kenyataan bahwa aku belum juga bisa memahami kenyataan. Itulah yang aku lakukan saat ini. Saat yang terjadi justru menyimpang dari yang diharapkan. Aku kadang berpikir, "Tuhan juga maha bercanda."

Pikiran konyol ini kadang membuat aku merasa lancang dan berdosa. Tapi sering juga malah membuat aku merasa tenang karena meyakini Tuhan masih dekat denganku walau aku kerap lupa dan menjauh.

KehendakNya unik bagiku. KehendakNya dalam kehendak yang sudah selesai ditulisNya, tidak terduga dan seringkali mengejutkan. Hal baik atau hal buruk yang terjadi, selalu membuat torehan pada permukaan perasaan. Dangkal atau dalam, tebal atau tipis, halus atau kasar, membentuk rupanya sendiri, khusus untuk aku.

Aku seperti tengah memperhatikan satu karya seni cukil, di permukaan pemahamanku, yang belum bisa aku mengerti.

Jatibarang, 4 April 2015

Tulisaja

Kamis, 02 April 2015

Cinta Semestinya Jernih

CINTA SEMESTINYA JERNIH

Kalau cinta perlu pengorbanan, berarti ada yang salah. Cinta semestinya berjalan apa adanya, jernih, murni dan ringan. Tanpa ada yang berkorban, tanpa ada yang dikorbankan, karena cinta sesungguhnya tidak pernah menuntut.

Saat kita merasa perlu berkorban untuk cinta, sesungguhnya kita tidak sedang mencintai, tapi kita sedang jual beli.

Jatibarang, 2 April 2015

Tulisaja

Jumat, 27 Maret 2015

Belikan Bapak dan Ibu Surga

BELIKAN BAPAK DAN IBU SURGA

Nak
Kalau kau sudah besar nanti
Saat segalanya bisa kau beli
Tolong belikan bapak dan ibu surga

Tidak usah yang mewah
Seperti yang digambarkan pada ayat-ayat
Buat kami, cukup yang emperan saja
Kelas kambing juga tidak mengapa
Asalkan cukup untuk kami merebahkan diri

Nak
Kalau kau besar nanti
Saat semua tempat di muka bumi bisa kau kunjungi
Tolong carikan bapak dan ibu surga

Oleh-olehkan satu untuk kami
Tidak usahlah yang kilau-kemilau yang kau bawa
Satu yang kusam asal kau ikhlaskan
Sudah sangat membahagiakan rasa

Nak
Kenapa bapak pesankan ini padamu?
Sungguh bapak dan ibu tidak akan sanggup membelinya sendiri

Di sisa umur kami kini
Berapa banyak tabungan yang bisa dikumpulkan?
Manalah cukup semua itu untuk membayarnya?

Nak
Tolong belikan bapak dan ibu surga

Indramayu, 27 Maret 2015

Tulisaja

Rabu, 25 Maret 2015

Pagi

PAGI

Pagi ini aku ditemani semesta
Awan-awan di Timur
Mulai merah terbakar
Layaknya bara di bawah tungku-tungku pedagang serabi

Pagi ini aku ditemani semesta
Matahari mulai naik
Sebarkan rupa warna-warna
Bersama harum nasi uduk dari warung di seberang kali

Pagi ini aku ditemani semesta
Dengan kesejukan yang khas
Dari kali kotor yang hanyutkan segala
Dan manusia mulai sibuk bergerak

Pagi ini aku temani semesta
Menikmati beberapa serabi dengan mata hampir buta
Berbumbu asap tungku menyala
Nikmat? Itu tidak usah kau tanya

Jatibarang, 26 Maret 2015

Tulisaja

Selasa, 24 Maret 2015

Diamku

DIAMKU

Jangan pernah berkata apapun tentang diam
Karena apalah yang kau fahami tentangnya
Bahkan aku
Yang memilikinya

Jangan pernah menduga sesuatu tentang diam
Dugaanmu tidak akan mampu menyentuh kebenaran
Tak kecuali aku
Hanya bisa merenung, memikirkan

Sudahi saja khayalmu tentang diam
Senyapnya terlalu dalam untuk diselami
Kadang dia menatap
Aku tidak sanggup mengambil arti

Biarkan saja diam itu diam
Sama-sama kita tergantung dalam sepi

Indramayu, 24 Marer 2015

Tulisaja

Senin, 23 Maret 2015

Rasa Mati

RASA MATI

Tiba-tiba Bewok ingin bunuh diri. Bukan, ini bukan untuk menghindari hidup dengan segala masalahnya. Bukan karena rasa kecewa atau patah hati. Ini hanya semata-mata dia ingin merasakan seperti apa rasanya mati.

Sebenarnya keinginan ini adalah keinginan yang sudah lama dia lupakan. Tapi, akhir-akhir ini muncul kembali, terlebih saat senggang, saat banyak waktu untuk merenung.
Tapi dia bingung. Dia belum juga menemukan cara yang tepat karena ini bukan bunuh diri untuk mati, tapi untuk merasakan mati. Harus sealami mungkin. Sebisa mungkin tanpa alat, tanpa racun dan yang terpenting tanpa kemungkinan gagal. Sengaja tapi tidak sengaja.

Berhari-hari dia berpikir untuk menemukan cara itu. Seminggu, belum juga dia temukan. Sampai satu saat dia membaca tulisan besar dari poster sebuah lembaga amal "tidak perlu sakit untuk merasakan sakit".

Dia baca berulang-ulang tulisan itu.
"Bagaimana kalau aku ganti, tidak perlu mati untuk merasakan mati?" pikirnya, dalam hati. Akhirnya dia pun merefisi niatnya.

Hari itu juga Bewok lapor ke Pak RT, bahwa dirinya, Bewok, baru saja meninggal dunia. Pak RT bingung dan menganggap Bewok tengah bercanda.

"Serius Pak, Bewok baru saja meninggal dunia," katanya, untuk meyakinkan Pak RT.

Pak RT mempersilakan Bewok untuk masuk ke rumahnya. Setelah mereka berdua duduk di ruang tamu, Pak RT berkata, "coba jelaskan, ada apa sebenarnya Pak Bewok?".

"Bewok meninggal dunia Pak RT, sekitar sehabis subuh tadi," sahut Bewok, kembali menjelaskan laporannya.

"Kalau Pak Bewok meninggal dunia, lalu bapak ini siapa?" tanya Pak RT, sambil tersenyum karena masih menganggap Pak Bewok bercanda.

"Lhoo, saya Bewok Pak. Masa bapak tidak kenal saya, warga bapak sendiri."

"Pak Bewok, tolong jangan bercanda. Saya sebentar lagi akan berangkat ke luar kota. Saya mau bersiap-siap." Pak RT mulai jengkel.

"Saya tidak main-main Pak RT. Saya serius melaporkan bahwa Bewok pagi tadi meninggal dunia," timpal Bewok, yang juga mulai kesal.

Melihat Bewok sangat serius dan mulai kesal, ditambah harus segera berkemas, akhirnya Pak RT menyerah.

"Mungkin orang ini mulai gila," pikir Pak RT.

Lalu, "baiklah Pak Bewok, laporannya saya terima. Kira-kira jam berapa akan dimakamkan?".

"Siang ini Pak RT, bada juhur," sergap Bewok, merasa lega.

Bewok sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk melaksanakan prosesi pemakaman dirinya. Para tetangga sudah berdatangan ke rumahnya. Walau dengan wajah terheran-heran, mereka tetap datang dan memberikan ucapan belasungkawa kepada Bewok.

Di ruang tamu rumahnya sudah terbujur sejazah yang sudah terbungkus rapih kain kafan, dikelilingi para kerabat dan tetangga, yang sebagian terlihat bingung dan sesekali berbisik ke orang di sebelahnya.

Dua buah nisan dari papan kayu juga sudah disiapkan, bersandar di tembok teras rumah. Salah satunya bertuliskan nama lahir Bewok, lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal meninggalnya. Di tempat pemakaman pun sudah disiapkan satu lubang kubur untuknya.

Melihat keramaian di rumah Bewok saat melintas untuk berangkat ke luar kota, Pak RT yang semula menganggap laporan Bewok hanya bercanda, juga menyempatkan mampir dan mengucapkan belasungkawa.

Prosesi pemakaman akhirnya berjalan lancar hari itu. Setelah lubang di tutup dan nisan di tancapkan, berikut doa-doa dipanjatkan, para pengantar pun pulang. Tinggallah Bewok berdiri sendiri di sisi makam, menangis.

"Aku tidak ingin mati," bisiknya.

Pulang dari pemakaman dengan sepeda motornya, pikiran Bewok terus diganggu bayangan kematian. Sampai pada satu persimpangan jalan, dia terus saja menyebrang. Bewok tidak menyadari ada bus luar kota yang melaju kencang dari arah kanan.

Tabrakan tidak terelakkan dan seketika itu Bewok berhasil merasakan mati.

Indramayu, 24 Maret 2015

Tulisaja

Minggu, 22 Maret 2015

Protes

PROTES

Sore itu Bewok tengah protes dan marah pada hatinya sendiri. Bagi dia, hatinya itu sudah terlalu gaduh dan mengganggu. Percakapan hatinya dengan hatinya yang terus berdengung di rongga kepalanya, sudah seperti suara seekor lebah yang ingin keluar dari ruangan, tapi terjebak di kaca jendela.

Memang suaranya tidak memekakkan telinga. Tapi kesibukannya bicara yang terus menerus, membuatnya jengkel dan lelah. Istirahat malamnya terganggu. Bewok harus terbaring lama menatap langit-langit kamar dengan mata mengantuk, tapi tidak bisa segera terlelap.

Sudah beberapa kali dia protes, tapi sepertinya tidak diindahkannya. Walau terkadang dia ikut menikmati apa yang dibincangkan hatinya, tapi kali ini gaduhnya sudah membuat jengkel dan marah.

Anehnya, yang dibincangkan hatinya tidak pernah habis. Selalu ada bahan untuk didiskusikan, dikomentari, bahkan sekedar untuk diumpat atau dimaki. Bewok juga curiga, hatinya sering membicarakannya.

Bewok sungguh sudah tidak tahan. Gaduhnya sudah tidak lagi tahu waktu. Setiap saat, terus menerus. Ingin rasanya dia tinggalkan saja hatinya itu. Pergi jauh dan berharap tidak lagi bisa bertemu. Kemudian, yang membuatnya kaget adalah ketika hatinya itu tidak bisa menerima protesnya.

"Maaf, selama ini aku justru hanya mendengarkanmu," kata hatinya menjawab protes dan marahnya.

Indramayu, 23 Maret 2015

Tulisaja

Jumat, 20 Maret 2015

Gerhana

GERHANA

Aku masih bimbang. Sampai saat ini aku tidak tahu, apakah aku matahari, bumi, atau bulan.

Aku sudah mencoba untuk mencari jawaban. Aku cari di bumi, menjadikan aku seolah-olah adalah bumi. Aku amati detilnya di bulan, sepertinya aku meyakini, aku adalah bulan. Aku berpindah ke matahari, dan aku terbakar.

Bulankah aku? Atau aku adalah bumi? Belum juga bisa aku yakini. Pernah juga hal ini aku tanyakan pada tetesan embun. Karena aku tahu dia selalu menemani pagi. Disuruhnya aku menunggu sampai siang mulai mengembang.

Ah, aku sudah tidak ingin menunggu lagi. Aku sudah terlalu lama mencari. Tapi apa boleh buat. Tidak diberikannya pilihan lain untukku. Aku turuti. Aku tunggu siang datang. Siang hampir berlalu tanpa terjadi sesuatu. "Embun itu menipuku," pikirku.

Malam datang membunuh siang dengan jubah senjanya. Sementara aku masih di titikku, berharap malam segera bosan melihatku lalu pergi. Aku akan tetap di titikku, menunggu embun yang sudah menipuku.

Menunggu, selalu membuat waktu menjadi lambat beranjak. Tapi terlanjur bagiku untuk pergi dan meninggalkan seonggok waktu yang sudah aku kumpulkan. Karena hari sebentar lagi pagi.

Pagi datang dan diam-diam segera aku sergap tetesan embun. Aku tanya, kenapa dia sudah menipuku.

"Menipu?". Embun itu balik bertanya kepadaku.

"Ya, kau telah menipuku. Kau bilang aku akan temukan jawaban segera setelah siang mengembang," bisikku, tepat di sisi telinganya pelan, khawatir pagi akan terganggu.

"Lalu apa yang kau alami siang kemarin?" tanyanya kemudian.

"Aku tidak mengalami apa-apa kecuali tubuhku mematung menunggu," jawabku.

"Itulah, kenapa kau tidak mengalami apa-apa kemarin. Karena kau bukan bumi, bukan pula bulan, apalagi matahari. Kau tidak akan mengalami apa-apa karena kau adalah pengalaman itu sendiri. Kau adalah gerhana".

Indramayu, 20 Maret 2015

Tulisaja

Rabu, 18 Maret 2015

Sejati

SEJATI

Adakah yang bisa mencintai tanpa berharap dicintai? Bahkan sekedar berharap yang dicintai mengetahui.

Kalau kau bilang, "cinta tidak harus memiliki," justru setelah kau tahu dengan pasti dia tidak mencintaimu, aku pikir itu hanya kalimat pelipur lara hati.

Sungguh, akan menyiksa mencintai dalam senyap kalau kau tidak memahami. Tapi yakinlah, itulah cinta sesungguhnya. Karena kesejatian ada saat hanya kau dan Dia yang tahu.

Indramayu, 18 Maret 2015

Tulisaja

Selasa, 17 Maret 2015

Begal

BEGAL

Padahal sebelum berangkat tadi, aku sudah berdoa. "Ya Tuhan semoga aku tidak bertemu dengan begal, aamiin".

Ternyata, di perjalanan aku dibegal. Daripada mendapat celaka karena bersikukuh mempertahankan, akhirnya aku serahkan.

Aku serahkan sepeda motorku, dia menggelengkan kepala. Aku serahkan dompet dengan isi tidak seberapa, dia juga menggeleng.

Aku bingung.

"Ini benar begal, atau canda iseng teman-teman," pikirku menduga-duga.

Aku amati wajah bertopeng hitam itu. Dia balas memandang mataku tajam.

"Apa yang kau inginkan?" tanyaku.

Dia menunjuk tepat ke dadaku.

"Apa?" tanyaku, semakin bingung.

Sekali lagi dia menunjuk ke dadaku.

"Tidak mungkin jaket lusuhku yang dia pinta" kembali pikiranku menduga, bersama beberapa rasa khawatir yang berkecamuk meraba-raba.

"Apa?" tanyaku, sekali lagi.

"Hati", jawabnya singkat.

"Hati?" tanyaku memastikan.

"Ya, hatimu" jawabnya lagi.

"Tidak bisa, hati ini ada yang punya" sergahku sambil mundur selangkah.

Sigap dia menghunus pisau belatinya dengan tangan kiri dan siap menusukku sementara tangan kanannya masih tetap memegang parang yang menatapku garang di atas kepalanya.

Aku mundur selangkah lagi, merasa ngeri.

"Baik ... baik ... baik, a .. akan aku serahkan, tet ... tet.. tapi separuh saja" kataku tergagap.

"Semua!" sergahnya.

"Jangan lah" pintaku.

"Kalau semua, nanti tidak ada sisa yang bisa aku bawa pulang. Lalu apa yang harus aku suguhkan untuk nanti malam?".

"Aku ..."

Belum selesai aku berkata-kata lagi, tiba-tiba, jleb.

Suara belati yang menembus dadaku lurus menusuk hatiku, mengantarkan aku tersungkur.

Setelah mengorek isi dada dan mengambil seluruh hatiku, begal itu pergi tanpa terburu-buru.

"Begal bodoh. Kau bisa membawa seluruh hatiku, tapi tidak dengan cintaku", batinku berkata seraya bangkit kembali berdiri dengan dada berlubang.

Indramayu, 17 Maret 2015

Tulisaja

Sabtu, 14 Maret 2015

Debu

DEBU

Kalaupun semua ini harus hancur
Biarlah aku yang menjadi debu
Agar hanya ada aroma khasku tanpa wujud
Dan angin bisa bebas membawaku

Percuma saja kalau aku hanya menyerpih
Pastinya akan tetap ada aku di situ
Bersama setumpuk rasa saat menggigil perih
Yang setiap waktu akan bangkitkan ingatanmu

Biarlah aku hancur
Menjadi debu dalam fakir
Hingga tidak sisakan kepingan menyatu
Dari pahitnya hidup menjalani takdir

Aku tahu hujan akan hempaskan aku
Setelah angin membawaku naik tinggi menjemputnya
Benturkan aku keras pada tanah kering membatu
Jadikan aku debu sempurna

Ternyata aku sudah menjadi debu
Bahkan kau tidak bisa lagi gumpalkanku dalam nalar
Hingga hujan bisa segera pulangkan aku
Membentuk aku kembali dalam tembikar

Kasih, aku ikhlas membatu

Indramayu, 15 Marer 2015

Tulisaja

Senin, 09 Maret 2015

Terlambat

TERLAMBAT

Aku kecup selembar kelopaknya
Semakin merekah dan gugur
Aku pungut lalu aku simpan di saku
Agar harumnya hanya untukku

Sengaja aku tancapkan durinya di kulitku
Aku rasakan ujungnya yang mulai menusuk
Membawa perih sampai ke kepalaku
Sekejap tentrampun menjalar

Barusan aku tebas mawar itu
Berharap tidak ada lagi yang bisa memiliki
Hingga tidak seorang pun ikut merasakan
Karena aku tidak ingin berbagi

Aku rasakan sakuku sesak
Kelopak yang aku simpan menjadi tunas merambat
Dalam sejuta krama yang belum sempat aku cecap
Tapi malam terlanjur selimuti aku lelap

Ya Tuhan
Segelas kopi sudah tidak hangat lagi
Sementara keretaku mulai beranjak

Jatibarang, 7 Maret 2015

Tulisaja

Minggu, 08 Maret 2015

Labirin

LABIRIN

Aku terjebak pada sebuah labirin pemahaman. Aku tidak tahu lagi arah mana yang harus aku telusuri untuk mengakhiri permainan ini. Arah kiri atau kanan yang aku pilih, rasanya tidak akan ada pengaruhnya lagi. Turuti naluri, aku kira, satu-satunya perunjuk untuk melanjutkan langkah. Gamang.

Lelah langkah tidak pernah surutkan keinginan untuk segera dapatkan jalan keluar. Tapi berkali sudah aku merasa bahwa aku hanya berputar-purar dan selalu kembali ke titik semula. Permainan ini sudah benar-benar menjengkelkanku kini.

Gerbang keluar tidak pernah terbayang ada di mana. Bahkan embusan angin pun enggan memberi sedikit saran. Aku usahakan untuk sebentar terlelap, berharap ada mimpi datang beri secuil ilham. Ternyata tidurku polos dan tidak sedikitpun kirimi aku sepercik arah.

Aku terbangun saat tubuhku tiba-tiba melambung. Semakin tinggi dan aku tergagap. Tidak sempat lagi terpikir untuk meraih pucuk-pucuk untuk menahan tubuhku yang melayang. Terus meninggi sementara aku mencoba untuk memahami apa yang sedang terjadi dan mengingat-ingat kembali apa yang sudah aku lewati.

Aku teringat tentang labirin yang sudah menjebakku. Aku lihat ke bawah, tergambar lorong-lorongnya yang, ternyata, tanpa gerbang masuk dan keluar. Aku amati sekali lagi dari ketinggian. Sungguh tidak ada sama sekali gerbang. Hanya alur-alur setapak yang di suatu tempat bersimpangan, di tempat lain buntu menyekap.

Saat aku merasa terbebas, tiba-tiba kepalaku terlepas. Jatuh kembali kedalam salah satu lorong buntu yang senyap. Tuhan, kini pikiranku yang terjebak.

Indramayu, 8 Maret 2015

Tulisaja

Senin, 23 Februari 2015

Melulu Asmara

MELULU ASMARA

Sore itu, seperti sore-sore yang lalu, Bewok mulai merayu

"Dan bukan indahnya liukan daun ditiup angin yang aku rasakan ketika sehelai harus gugur. Tapi betapa pilunya ranting saat harus melepaskan dan berpisah, kekasih".

"Tidak akan pernah beku pucuk-pucuk pinus dalam dekapan kabut sore, kecuali saat harumnya menghilang. Begitulah rasa cinta ini kepadamu, kekasih".

"Tidak juga karena gemericik air dari aliran sungai kecil berbatu yang mampu tentramkan hati ini. Hanya hadirmu mampu sejukkan hati yang meradang ini, kekasih".

"Bahagianya awan bukan saat berarak-arak mencari puncak. Bahagianya awan adalah saat harus terkondensasi menjadi butir air. Walau harus terhempas, saat itulah dia bermakna. Demikianlah pengorbananku untukmu, kekasih".

"Bukan karena merekahnya kelopak-kelopak bunga yang memberikan harapan pada kumbang kecuali tersimpannya madu yang siap dicecap. Cintaku tidak harapkan pamrih seperti itu, kekasih".

"Jangan lagi tentang cahaya yang akan dibagikannya, kepastian akan datangnya purnama sudah sangat membahagiakan bocah-bocah dusun. Seperti itulah rasaku untuk cintamu, kekasih".

"Bahkan lumeran buih capuchino yang melebur membalut lidah tidak juga melambungkan rasa. Aku hanya butuh rekahan senyummu untuk sejuta bahagia, kekasih".

"Kekasih, sebaiknya kita nikmati dulu capuchino ini sebelum aku kembali merayumu".

Lalu Bewok menyeruput buih capuchino sambil memandang 'takzim' kursi kosong dihadapannya.

Indramayu, 23 Pebruari 2015

Tulisaja

Minggu, 15 Februari 2015

Pantas

PANTAS

'Muliakanlah manusia, kau tidak akan pernah menjadi hina karenanya'.

'Hinakanlah manusia, kaupun tidak akan menjadi mulia karenanya'.

'Hidup semestinya saling menghargai, sehingga kehormatan akan senantiasa menaungi setiap senyum'.

"Cah, ini otak lagi kenapa lagi? Pake berlagak nulis-nulis yang kaya gituan".

"Sudahlah, nulis yang kaya gituan sih jatahnya orang-orang bijak, cerdik pandai, para motivator. Lu sih ngga pantes lah nulis-nulis yang kaya gituan. Nulis yang kaya biasa aja. Ngerti apa si lu tentang kemuliaan? Ngerti apa lu tentang kehormatan? Motivasi apa lagi, punya sendiri aja harus lu genjot habis-habisan".

'Tapi bro, boleh dong gua nulis kaya gitu, sekedar buat ngingetin diri sendiri. Toh bukan hal yang salah, bukan hal yang ngga sopan yang gua tulis itu'.

"Kalo cuma buat ngingetin diri sendiri sih, lu telen sendiri aja itu tulisan. Ngga usah lu ceplokin di dinding media umum".

"Bukan hal yang ngga sopan lu bilang? Justru lu jadi sangat ngga sopan karena nulis yang kaya gituan".

'Lho memangnya kenapa?'.

"Karena itu bukan bagian lu untuk nulis yang kaya gitu. Lu udah ngerebut ladang orang lain".

'Begitu ya?'.

"Lha iya lah. Sudahlah, gua bilang lu nulis kaya biasanya aja. Ngga usah sok-sok-an nulis-nulis kata bijak, nasehat-nasehat, motivasi-motivasi. Ngga pantes. Nah ini juga yang bikin tulisan kaya gini buat lu jadi ngga sopan, karena lu ngga pantes".

'Lho, memang ada ukuran kepantasan atau ketidakpantasan dalam menulis?'.

"Lho ya ada bro. Bagaimana lu bisa nulis tentang kemuliaan kalau hidup lu sendiri hina kaya gitu. Bagaimana lu bisa cerita tentang rasa kopi kalo lu sendiri ngga doyan kopi. Lu bisa aja nulis cerita tentang rasa kopi ribuan halaman. Tapi orang yang tau kalo lu ngga doyan kopi, mana mau percaya sama yang lu tulis".

'Ya ngga kaya gitu juga dong logikanya. Orang nulis itu kan bebas, asal sopan, sukur-sukur ada manfaat buat orang'.

Asyik juga memperhatikan dua mahluk dalam diri ini tengah berdiskusi sengit, sementara mata ini mulai mengantuk.

Bagaimana kalau kita tinggalkan saja mereka. Mereka bekelahi pun aku sudah tidak perduli. Sudah sering mereka bertingkah seperti itu. Lebih baik kita cari secangkir kopi untuk menyegarkan mata ngantuk ini.

Jatibarang, 15 Pebruari 2015

Tulisaja

Kamis, 12 Februari 2015

Melupakan

MELUPAKAN

Sore belum juga menenggelamkan matahari ke dalam kotak penyimpanannya, ketika seorang bapak tiba-tiba datang ke hadapanku. Beliau terlihat tengah marah besar tentang sesuatu.

"Ini tidak benar, sungguh ini tidak benar dan sangat mengecewakan" semprotnya ke mukaku.

Aku bingung.

Tapi lanjutnya "apa anda tidak tahu saya siapa? Atau anda lupa?".

Jelas aku tidak tahu, pikirku. Bagaimana aku tahu. Tiba-tiba saja bapak itu muncul di depanku dan marah seperti itu.

"Maaf, bapak siapa?" tanyaku.

"Lihat. Bahkan anda tidak tahu siapa saya" tukasnya.

Aku diam.

"Anda tidak sepatutnya bersikap seperti itu kepada saya. Anda harusnya malu dan segera meminta maaf ke saya".

"Anda bisa seperti sekarang karena siapa? Kalau bukan karena saya, tidak mungkin anda bisa seperti sekarang. Bahkan untuk bisa bertahan hiduppun mungkin anda tidak akan bisa".

"Tapi apa balasan yang anda berikan ke saya? Jangankan untuk membalas jasa, sekedar mengingat saja tidak".

"Saya tidak menuntut balas budi anda ke saya, tapi lupa anda terhadap saya sungguh mengecewakan saya".

Aku masih terdiam dan mulai gemetar.

Bapak itu semakin memerah mukanya.

"Saya tidak minta anda membelikan hadiah buat saya. Saya tidak minta anda hormat terbungkuk-bungkuk di hadapan saya. Saya cuma minta anda untuk tidak melupakan saya".

"Saya tidak peduli kalaupun anda sudah tidak mau menemui saya lagi. Saya tidak peduli kalau anda melupakan apa yang sudah saya lakukan untuk anda. Tapi tolong, jangan lupakan saya karena itu sangat mengecewakan dan menyakitkan".

Melupakan? Aku semakin gemetar.
"Maaf, bapak ini siapa?" tanyaku sekali lagi.

"Anda sungguh keterlaluan. Benar dugaan saya bahwa anda sudah melupakan saya. Perhatikan baik-baik, saya ini Bapakmu".

Dan aku tersungkur.

Indramayu, 13 Pebruari 2015

Tulisaja

Hitam

HITAM

Hitam mengunci simpul putih dalam bijak
Membungkam seraya mengurung senyap
Memaksa bidadari datang merangkak
Berbekal kelopak sayap patah meretak

Kehendak senantiasa menggoda hasrat
Wujudkan petaka di balik lidah gelap
Merona wajah tergaggap
Sembunyikan dusta nista terikat

Hidup sudah menjadi tumpukan kekurangajaran
Menggunung menutupi pandang
Tidak akan cukup cemeti yang mengusap
Bahkan bara tertelan hanya menegur sikap

Cahaya yang akan membasuh gelap
Semburatnya sudah terlihat
Semoga segera di hati terpahat
Goresan-goresan pesan wasiat

Indramayu, 12 Pebruari 2015

Tulisaja

Rabu, 28 Januari 2015

Darkness

DARKNESS

The dark to be darkness
It's so imposible to kill my mind
To make the situation right
While evil intimidate me tight

Help me
Just a simple thing for You
The sorrow inside
That I can't release to kill the pain

Something dark in my heart
Not easy to make it glad
Silent perhaps it bright
Quiet will hide depressing thing at deepest side

Indramayu, 11 Januari 2015

Tulisaja

Jumat, 16 Januari 2015

Sempurna

SEMPURNA

Cuaca mendung seharian menemani kalutnya pikiran. Sepertinya akan sempurna kalau sisa hari ini aku habiskan dengan mendengarkan lagu-lagu bluesnya Jimi Hendrix.

Laki-laki juga boleh menangis kan? Beri aku waktu sebentar untuk sendiri. Aku hanya perlu waktu untuk keluarkan satu tetes saja. Tidak lebih. Karena satu tetes air mata yang keluar dari seorang laki-laki pastinya bersumber dari sayatan luka yang paling perih. Dari sebuah kecamuk yang paling rumit.

Bleeding Heart, satu lagu blues dari Jimi Hendrix masih play on dan akan disusul Hear My Train Comming (accoustic). Aku benar-benar remuk sempurna.

Indramayu, 17 Januari 2015

Tulisaja

Kamis, 15 Januari 2015

Natural

NATURAL

"Cut !", teriak sang sutradara menghentikan adegan yang tengah berlangsung.

"Ini sudah berapa kali diulang? Aktingnya yang natural dong. Ayo coba lagi ya".

"Siap. Kameraaaaa .... eksyen".

Dua orang pemain itu pun mulai berakting lagi. Baru saja dialog dimulai, sutradara itu kembali menghentikan adegan.

"Cut ! Aduh Bunga, coba aktingnya yang enak, yang natural. Masa ngga bisa. Bisa kan?"

Bunga, artis penuh sensasi itu tersenyum dan mengangguk.

"Ok, kita coba lagi".

"Cameraaaa ..... eksyen".

Kembali, Bunga dan pasangan mainnya mulai berakting. Dialog baru meluncur beberapa kalimat ketika tiba-tiba sutradara kembali berteriak.

"Cut ... cut !"

"Sudah aku bilang natural natural. Bisa ngga sih? Ini bukan sinetron. Ini film. Bunga, coba yang natural. Jangan kaku seperti itu. Jangan disamakan dengan sinetron" omel sang sutradara dengan nada jengkel yang mulai kentara.

Melihat Bunga mulai kehilangan mood, sutradara menghentikan shooting dan meminta semua crew istirahat.

"Ok, kita rehat saja dulu, satu jam. Tepat satu jam dari sekarang kita mulai lagi".

"Bunga, coba dalami lagi skenarionya, dialognya. Latih lagi aktingnya. Di sinetron boleh asal akting, di film ini ngga bisa asal. Ok?" pinta sutradara kepada Bunga sedikit ketus.

Bunga, artis dengan banyak berita sensasional itu pun kembali ke mobilnya dengan wajah cemberut.
Seluruh crew pun bubar. Ada yang ngobrol sambil berteduh di rindang pohon besar dekat lokasi. Lebih banyak yang kembali beristirahat ke mobil masing-masing.

Asisten sutradara menghampiri sang sutradara yang masih duduk di bangku sutradara dalam posisi menunduk bungkuk dengan kedua telapak tangan ditangkubkan di muka dan kedua sikut tertanggal di atas paha.

"Susah ya boss", kata asisten sutradara sekedar berbasa basi.

Sang sutradara masih dengan posisi semula menanggapi, "akan menjadi sangat susah".

"Akting natural itu sangat susah".

"Apalagi buat Bunga, orang yang seluruh hidupnya adalah kepura-puraan, ngga natural. Dan sekarang banyak orang seperti dia".

Indramayu, 15 Januari 2015

Tulisaja

Minggu, 11 Januari 2015

Helm

HELM

Begitu sampai di rumah, Bewok langsung marah sejadi-jadinya.

"Ini ngga lucu. Kamu ini gimana sih? Gara-gara kamu, aku harus berurusan sama tukang becak", omel bewok setelah sebelumnya meneguk habis segelas besar air putih.

Bewok menarik nafas sebentar, lalu melanjutkan, "mestinya kan saat aku menoleh ke kiri di perempatan jalan itu, kamu juga ikut menoleh ke kiri. Kamu malah terus menghadap ke depan. Saat aku kembali menoleh ke depan, lho kok kamu malah menoleh ke kanan. Akhirnya motorku nyeruduk pantat becak. Masih untung ngga kenceng".

"Asli, mending nyeruduk pantat BMW deh dari pada pantat becak. Jangankan kita yang salah. Lah dia yang salah aja galakan dia kok. Apalagi ini, kita yang salah. Apes, gara-gara ulahmu aku harus keluar 300 ribu. Masa cuma pelek ban belakang melengkung saja harus 300 ribu. Dalihnya sekalian buat urut dan uang kaget lah. Tapi mau gimana lagi? Lah wong teman-temannya sesama becak sudah merubung dengan muka mengerikan".

Yang diomeli hanya bisa melongo ternganga di sudut meja.

"Sekarang gimana? 300 ribu itu uang terakhirku. Hari ini mau makan apa coba? Kamu jangan diem saja. Ayo jawab. Mau makan apa?" Tanya Bewok berteriak dengan bola mata yang hampir keluar dari rumahnya dan muka merah matang.

Yang ditanyapun masih diam ternganga di tempat semula.

"Sial. Selalu begitu. Cuma diam yang kamu bisa" hardik Bewok sambil melangkah gontai masuk ke kamarnya, meninggalkan helm tua, yang sudah sangat longgar bila dikenakan, di sudut meja.

Indramayu, 12 Januari 2015

Tulisaja

Selasa, 06 Januari 2015

Makan

MAKAN

Selesai memasak mie instan, ibu itu lalu menyuguhkan untuk anak-anaknya yang telah menunggu dengan sabar di atas selembar tikar pandan. Bersama mereka, telah menunggu juga piring-piring berisi nasi putih di hadapan masing-masing anak yang lima orang itu.

Saat masing-masing anak mengambil mie goreng dengan riuhnya, tiba-tiba anak yang paling besar berucap "kata salah satu acara kesehatan di TV, tidak baik makan nasi dengan mie instan".

Sang ibu dengan teduh memandang anak sulungnya lalu berkata "nak, biarlah itu berlaku untuk mereka yang makan untuk menjaga kesehatan. Ada juga orang yang makan untuk kesenangan hidup. Kalau kita ini termasuk orang-orang yang makan untuk bertahan hidup. Jadi untuk sementara makan saja seadanya".

Anak-anak lalu melanjutkan makan malam mereka dengan lahapnya, sementara sang ibu menangis di pojok dapur.

Indramayu, 6 Januari 2014

Tulisaja