Entri Populer

Senin, 01 Desember 2014

Tambal Ban

TAMBAL BAN

Hujan masih cukup lebat di malam itu saat jam kerjaku usai. Pukul 21.15 WIB. Aku kenakan jas hujan lalu aku kendarai sepeda motorku. Malam itu aku harus melalui jalan alternatif karena jalan yang biasa aku lalui tidak memungkinkan untuk dilewati. Di ruas jalan di salah satu desa, genangan airnya sudah setinggi pinggang orang dewasa.

Aku tidak terlalu hafal jalan alternatif itu walau beberapa kali pernah melewatinya. Sebelumnya aku ragu. Tapi karena tidak ada pilihan lain, mau tidak mau aku harus putuskan untuk pulang melewati jalan itu. Yang aku tahu jalan alternatif itu melintasi beberapa desa diselingi hamparan sawah, kebun-kebun dan pemakaman umum.

Saat mulai melewati jalan alternatif, perlahan-lahan ingatanku tentang jalan itu mulai tergambar. Walau ada perbedaan dengan gambaranku karena sebelumnya aku lewati jalan itu saat siang hari, paling tidak aku tidak buta total. Di beberapa rumah masih terlihat adanya aktivitas. Terlihat beberapa orang dewasa asyik berkumpul entah membicarakan apa ditemani gelas-gelas berisi kopi dan kepulan asap rokok. Di salah satu pos ronda juga masih ada beberapa anak muda berkumpul ditemani sebuah gitar. Selebihnya hanya kebun-kebun gelap, rumah-rumah basah, beku dan mendengkur.

Memasuki areal pemakaman umum hujan belum juga ada tanda-tanda mereda. Aku masih berjuang melewati jalan desa menghindari lubang-lubang jalan. Sesekali aku tertipu lubang yang tertutup genangan air. Sekali roda depan menumbuk dengan keras lubang jalan dan tidak berapa lama kemudian aku rasakan stang sepeda motor menjadi berat untuk dikendalikan. Aku duga roda depan kempes akibat tumbukan yang keras tadi dan dugaanku tepat

Aku paksakan sepeda motorku melaju pelan dalam keadaan roda depan kempes. Syukurlah, di ujung pemakaman umum, di mulut sebuah desa yang sepertinya sudah tertidur, aku jumpai gubuk tambal ban. Ada kopresor orange kecil dan kotor di depan gubuk menandakan tambal ban itu masih buka. Aku parkirkan motor di depan gubuk yang terlihat sepi dan mataku mulai mencari-cari pemilik gubuk tambal ban itu.

"Punteeen ...... punteeen..... permisiii" sapaku mengeras di tengah gaduhnya suara hujan.

Tidak ada jawaban, kosong.

"Permisiii ..... assalamu'alaikuum ...." kembali suaraku harus bersaing dengan suara riuh hujan yang jatuh pada atap seng dari gubuk itu.

Tiba-tiba dari samping gubuk muncul seorang bapak tua. Dibantu sinar lampu lima watt dari gubuk itu aku berhasil tahu bahwa seluruh rambut bapak itu sudah memutih. Aku kira umurnya sekitar tujuh puluh tahunan.

"Ada apa nak" tanya bapak itu.

"Ban depan bocor pak" jawabku.
"Bisa tambal kan pak?" lanjutku bertanya.

Bapak itu tidak menjawab tapi mengeluarkan perlengkapan tambal bannya dari sebuah kotak kayu. Pembuka pentil, beberapa batang besi pencongkel, gunting, dan perekat ban. Lantas saja dia membuka pentil ban, mencongkel ban luar dan mengeluarkan ban dalam. Aku diam dan membiarkan saja bapak itu bekerja. Aku juga diam karena aku tengah berfikir bagaimana aku bisa membayar ongkos tambal bannya karena dalam kantong celanaku hanya tersisa uang tiga ribu rupiah, yang jelas tidak cukup untuk ongkos tambal ban. Akhirnya, saat menunggu proses pemanasan bagian ban yang ditambal, jujur dan malu aku katakan ke bapak itu, "bapak, sebelumnya saya mohon maaf. Saya tidak bawa uang buat bayar ongkos tambalnya. Besok pagi saya kesini lagi dan akan saya bayar. Semoga bapak tidak keberatan. Biar nanti saya tinggalkan SIM saya sebagai jaminan".

Bapak itu hanya memandangku sejenak, tersenyum teduh lalu melanjutkan pekerjaannya.

Pukul 21.40 WIB. hujan sedikit mereda tapi alam sudah terlanjur terlelap pulas. Selesai memompa penuh ban yang ditambal, bapak itu menganggukkan kepala memberi isyarat perkerjaannya telah selesai. Sekali lagi aku memohon maaf dan sambil menyerahkan SIM, aku berusaha meyakinkan bahwa besok aku akan kembali. Bapak tadi menerima SIM yang aku beri lalu tangan kirinya meraih punggung tangan kananku dan tangan kanannya meletakkan kembali SIM itu di telapak tangan sambil tersenyum dan berkata "ndak apa-apa".

Aku berterimakasih lalu kembali melanjutkan perjalanan pulangku. Masih terbayang senyum bapak yang baik tadi dan masih terasa telapak tangannya yang dingin dan basah.

Esok harinya, sambil berangkat ke tempat kerja, aku lalui lagi jalan itu. Aku akan mampir sejenak di gubuk tambal ban untuk membayar ongkos tambal juga untuk menyerahkan titipan istriku, beberapa potong kue, untuk bapak penambal ban. Setelah aku lewati desa dekat pemakaman umum itu, aku tidak menemukan gubuk tambal ban itu. Bahkan setelah makam umum itu aku lewati, tidak juga aku temukan. Aku kembali lagi sampai ke tempat yang aku yakini gubuk tambal ban itu berada malam itu. Tapi aku tidak menemukan gubuk itu. Hanya tersisa tanah becek di antara rerumputan seukuran gubuk itu. Kebetulan ada beberapa penduduk desa, yang sepertinya akan berangkat ke sawah, berjalan melintas di dekatku. Aku tanyakan pada salah seorang mengenai bapak penambal ban itu. Dari keterangan orang-orang tadi aku tahu bahwa bapak penambal ban itu hidup sebatangkara dan sekitar dua bulan lalu meninggal dunia di gubuk tambal bannya tanpa ada yang tahu. Penduduk desa menduga karena usia lanjut dan sakit TBC-nya.

Indramayu, 18 Oktober 2014

Tulisaja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar